Oleh : Muchtar Prawira Sholikhin*
Seekor
kucing hitam berekor pendek. Menyelinap ke dalam kantin. Yang isinya tak penuh
juga tak sepi pelanggan, sekedarnya saja. Dua tiga langkah. Ia diam. Duduk
termenung memandang sendok dan garpu yang saling bertabrakan dengan piring,
menimbulkan bunyi yang semakin melaparkan perut. Dengan sesekali menggaruk
leher yang selalu gatal, diamatinya jajaran pelanggan di depannya, disapunya
dari kanan ke kiri. Ada empat orang duduk berjajar, mungkin mereka satu geng.
Lahap dengan nasi masing-masing, ditemani gemeritik piring dan sendok. Orang
paling kanan melempar sisa ke tanah. Itu kepala ikan. Secepat kilat ia terobos
angin menjemput pengganjal lapar. Melewati satu dua kursi yang kosong,
berlompat-lompat menghindari pancang-pancangnya. Tiba ia di depan orang paling
kiri. Tanpa berhenti ia lanjutkan larinya. Belum selesai satu kaki melanjutkan langkah,
satu kaki orang paling kiri itu melayang, gagah dengan pantofelnya. Menyambar
tepat perut yang masih keroncongan. Menghempaskannya sampai ke tembok.
Ancaman.
Lari secepat mungkin adalah solusi. Masa bodoh kepala ikan yang sudah di depan
mata. Masa bodoh pula dengan perut yang semakin perih. Sekejap kilat sampailah
di luar kantin, depan pintu. Menengok ke dalam sekali, memastikan kembali apa
yang dihadapinya tadi adalah wajah penguasa. Wajah ketamakan.
Cukup
sudah deritanya lalu. Tak terpikirkan lagi. Jalanan sekarang jadi rumahnya,
dunia yang lebih luas, pun juga lebih keras. Berjalan seiring mata memandang
sekarang yang ia lakukan. Menanti barangkali bertemu Tuhan di penghujung jalan.
Barangkali bertemu pengganjal perut di kiri atau kanan jalan. Sambil terus
berjalan berarah tempat Tuhan berada, ia edarkan pandangan ke segala arah, tak
ingin Tuhan terlewat. Tempat sampah. Ya, bertemulah ia dengan tumpukan penuh sampah.
Dengan perut yang semakin terlihat tulangnya tak perlu lagi ia menghitung
seberapa busuk sampah itu. Yang sekarang ada di pikirannya adalah perutnya
penuh, hidupnya bergairah, maka jalan pun terang di hadapannya. Ia buka
selembar demi selembar kertas, plastik, kaleng, serta barang lain sampai
menemukan yang ia cari. Sayang, tempat itu bukan daerah pemukiman. Yang ia
temukan hanyalah onggokan kertas dan plastik, ditambah beberapa batang kayu dan
daun yang mungkin ada orang menyingkirkannya dari jalan.
Lewatlah
pengharapan itu, namun masih ada pengharapan yang lain. Terlupalah satu tempat
sampah kosong ke tempat sampah lain. Bumi masih terbentang luas, jalan juga
masih terhampar di depan. Tentu masih ada harapan yang juga terbentang. Dan tak
berlangsung lama kembali ia temui tempat sampah. Diobrak-abrik isinya, namun
sama lah nasibnya kali ini. Tak menemukan jua sang harapan. Begitu selanjutnya
kisahnya. Mengais satu demi satu tempat sampah, dan kembali menemui kehampaan.
Ia
lanjutkan perjalanan. Berharap pada tempat sampah berikutnya akan ditemuinya
jua. Terlewat banyak blok di depan, banyak pula kekecewaan ia rasakan. Mulai
putus asa lah ia, namun Tuhan berkata lain. Ketika keputusasaan hampir
merenggut seluruh keyakinannya, keberuntungan naik ke permukaan. Tercium bau
tongkol goreng, lengkap dengan aroma saus manisnya, tercium sampai jauh.
Mengoyak gelisah perut yang semakin menjadi-jadi. Didatangi lah tempat itu. Diamati
kiri kanan, berharap tak ada makhluk lain selainnya. Tak mau lagi terulang
pengalaman di kantin, ia mengendap-endap penuh perhitungan. Keberuntungan
kedua, pintu rumah terbuka, cukup sebadannya menyelinap. Perlahan-lahan matanya
selalu mengintai. Yakin tak ada masalah. Bergegaslah ia berlari, lompat ke
kursi, lompat lagi ke meja, menggigit sebuah tongkol, lalu bergegas melompatlah
dari meja ke tanah, cukup tinggi. Namun bahagia mulai timbul di pikirannya,
juga di perutnya. Aku bisa bertahan hidup. Tapi secepat kucing itu pula pemilik
rumah beranjak, entah dari mana, mungkin juga sedang mengawasi sedari tadi. Dihantamnya
kepala kucing itu, menggoyahkan lakunya. Dengan sedikit sempoyongan, semakin
dikencangkan lari si kucing hitam. Selamatlah ia masih bisa kabur dari rumah.
Tapi tongkol yang sudah di ujung mulut tadi ikut terlempar ketika kepalanya
dihantam. Hilanglah sedikit kebahagiaan yang sempat muncul. Tapi untung ia
sempat merasai sedikit saus di mulutnya. Sedikit memberikan rasa pada mulut dan
tenggorokan, walaupun tak sampai perut.
Banyak
manusia yang selalu bilang, “kucing saja ada yang beri makan,” ketika manusia
itu belum berpenghasilan. Tapi di zaman sekarang apakah kalimat itu masih
relevan? Bukankah sudah sepatutnya diganti, “kucing seharusnya ada yang beri
makan.” Ya, tepat seperti itu. Mana bisa sekarang semua didapat tanpa adanya
uang? Tanpa adanya pengorbanan? Tapi apakah pengorbananku masih belum cukup
untuk mendapat sebuah saja tongkol.
Kini
ia hanya berjalan mengikuti ke mana langkah mengarah. Mungkin kembali mengais
di jalan menjadi satu-satunya jalan. Tanpa adanya pukulan yang membabi-buta dan
amarah, dia bisa bebas menikmati usaha, walau hasilnya tak selalu senikmat
usahanya. Dan berjalanlah ia ke mana pun jalan terhampar. Mengikuti jalan
selepas mata memandang. Dan sekali lagi, ia bergantung pada takdir. Semoga
perutnya kini bisa bertambah berat, bertambah lega. Kembalilah seperti
rutinitas sebelumnya. Berjalan ke mana arah, lalu mengais di mana tempat sampah
menggunung.
Masih
di sekitaran pemukiman warga, di ujung tepatnya, di tepi jalan raya, ia temui
tempat sampah yang cukup harum baginya. Penuh dengan yang ia tahu, ikan,
tulang-belulang dengan sedikit daging, tahu tempe, serta sisa makan lain yang
sungguh menggugah selera. Segeralah ia mengaisnya, ditemui sebuah bungkusan
yang cukup berat, dikeluarkannya dari tempat sampah, dikoyak pembungkus hitam
itu. Dan berhasillah ia mendapatkan surga dunia, berhasil menemui di mana Tuhan
berada. Namun tak berlangsung lama ada kucing lain mendekat. Berlari bahkan.
Lalu menubruknya. Membuatnya terlempar dari posisinya yang siap melahap hasil
mengaisnya. Beradulah cakar dua kucing ini. Kucing hitam melempar cakarnya,
dibalaslah dengan cakar di muka oleh kucing satunya. Masing-masing saling
meraung, menyuruh yang lain agar pergi. Tak ada yang pergi. Mereka berdua
saling bersiap siaga, tanda akan menyerang. Dan tak perlu hitungan waktu yang
lama bergulatlah kedua kucing jalanan ini. Berguling-guling hingga ke jalan.
Tak disangka ada mobil lewat. Tak kencang memang, tapi kecepatannya tak bisa
dikalahkan kedua kucing ini. Terlindaslah mereka. Satu terkena ekornya yang
kini bengkok. Satunya, yakni kucing hitam beruntung memiliki ekor pendek,
sehingga tak terlindas ekornya. Tapi naas, kaki kiri belakangnya yang terkena.
Sontak,
mereka lari kencang, sekencang yang masing-masing bisa. Kabur dari raksasa itu,
yang bisa jadi akan terus mengejar mereka. Si kucing hitam lari sebagaimana
kaburnya dari kantin dahulu. Namun kini dengan kaki yang pincang. Ia tak bisa
lari jauh. Ditambah perutnya yang semakin keroncongan membuatnya hilang tujuan.
Kemana lagi harus dilangkahkan kaki?
Sudah
lemas ia berusaha. Badan lebur dikandungnya, hati capai ia rasai. Kini ia sudah
lelah pada hidup. Mencuri. Biarlah sekali lagi dicobanya. Kini ia hanya pasrah.
Entah nanti mati atau hidup bukan lagi pikirnya, toh tanpa makan mati juga. Ia
hanya ingin secuil atau barangkali dua sampai tiga cuil daging demi perutnya.
Dimulailah
usaha terakhir. Kembali ke kantin yang memiliki lebih banyak dari rumah yang ia
sambangi tadi. Tanpa rencana, mulai mengendap-endap. Menahan sakit pada kaki
pincangnya ia telusuri kantin dari pinggir. Bersembunyi di bawah gelap
kursi-kursi. Merunduk-runduk mirip binatang melata –sebagaimana instingnya- ia
maju perlahan-lahan. Hari sudah gelap, kantin ini pun sudah sepi. Tak ada yang
melihatnya, tapi ia tak mau dihantam lagi. Setelah melewati kursi-kursi yang
kini kosong, tiba lah di tempat jajaran makanan dihidangkan. Namun kosong.
Dilihatnya ada pintu belakang. Dengan masih sembunyi-sembunyi, perlahan ia
masuki pintu. Di sana ada kompor yang sudah dingin, dan wajan di atasnya yang
juga dingin. Ada piring-piring yang sudah bersih ditata rapi. Tapi matanya
terbelalak ketika melihat ada piring yang diletakkan di bawah, lengkap dengan
ikan tongkol harapannya. Bisa jadi ini adalah jebakan sebagaimana ketika ia
sambangi perumahan tadi pikirnya. Takut-takut dengan perlahan ia semakin
mendekat. Tak ada ancaman. Perlahan dilahapnya sedikit demi sedikit. Dikunyahnya
tongkol harapan itu. Setiap kecapan dinikmatinya, dirasakannya badan yang sudah
lebur kini mendapati hasil. Kini perutnya sudah berkembang, pun hatinya sudah
lega. Dan malam ini ia pun tidur di tempat ini.
ya Allah.... bacanya hampir nangis . . :'(
ReplyDeleteHehehe. Selamat menikmati. Cerpen yang masih acakadut. :D
Delete