Tempat duduk di
tengah, dekat Albert. Itulah yang ada di pikiranku ketika memasuki ruang ujian
UAS semester ini. Seperti semester-semester sebelumnya yang membuktikan kalau yang ada
disebelahku itu Albert pasti akan membawa keberuntungan, entah itu dibilang keberuntungan atau strategi. Ilmu itupun yang selalu
kugunakan di setiap ujian di kampus ini. Dan aku sangat beruntung mempunyai
teman sepintar Albert. Selain strategi tersebut, tidak lupa tadi malam aku dan
teman-teman berkoordinasi terkait alur koordinasi nanti waktu ujian. Siapa saja
yang menjadi sumber, siapa yang membagikan, dan siapa yang bagian mengawasi
pengawas. Semua sudah tertata rapi. Memang benar-benar kompak kelas ini.
Bermain game saja kelasku selalu yang menjadi juara dalam hal kerjasama,
apalagi hanya untuk UAS ini. Ah gampang lah.
Satu
persatu squad kelasku hadir dan
mulai menempati posisinya masing-masing. Semester ini menurut perkiraanku akan
lancar seperti semester yang lalu. Sampai salah satu temanku, namanya Yudi
duduk di tempat yang berdekatan dengan pengawas.
“Wah, anak ini bisa buat rencanaku gagal ini. Siapa yang bagian mengalikan perhatian pengawas
kalau begini, coba?” gumamku sendiri.
“Ah biarkan saja, toh
kita masih ada yang lain di posisi sana” jawab
temanku menenangkan.
***
Dan
soal ujian mulai dibagikan. Di menit-menit awal kami santai, dalam perhitungan
kami di awal kalau pada waktu-waktu seperti ini pengawas akan memberikan
perhatiannya secara penuh, dan sumber-sumber kami juga bisa dipastikan belum menemukan
jawabannya. Jadi kalau kita melakukan aksi pada menit-menit awal seperti ini
tidak akan berbuah hasil yang maksimal dan membuat pengawas lebih memberikan
perhatiannya pada menit-menit selanjutnya. Ini bisa berabe kalau sampai terjadi, gagal total sudah segala persiapan kami.
Setelah
30 menit awal berjalan, melihat kondisi yang sudah mulai kondusif. Aku pun
memberikan kode bahwa aksi boleh dimulai. Secara halus dan terkonsep sejak awal
jawaban berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, dari bangku satu ke bangku yang lain, dan dari hp satu ke hp yang lain sampai semuanya
terdistribusi secara rata kecuali Yudi yang tak pernah mau ikutan dengan cara kita
mengerjakan UAS. Dia selalu menjawab sendiri, tak mau diberi contekan dan
tak mau mencontek. Walaupun dia sendiri tergolong anak yang tidak terlalu
pintar di kelas.
Seiring
berjalannya waktu, pengawas memberitahukan bahwa waktu akan habis. Bergantian
kami mengumpulkan jawaban agar bisa teracak satu sama lain. Dengan hati lega
kami keluar ruangan.
***
Masuk
hari kedua ujian kami mulai lebih ketat dalam strategi. Kalau dalam sepakbola
ini bagaikan pertandingan derby antara Arsenal dan Chelsea yang cukup menguras keringat, karena
mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang terberat diantara mata kuliah yang
lain pada semester ini. Kami mulai mengatur segalanya, mulai dari siapa yang akan menjadi sumber, sebagai cadangan
siapa yang akan membawa resume masing-masing
bab-nya, dan persiapan yan lainnya.
Tak
berapa lama Yudi masuk dan langsung duduk di tempat yang paling depan.
“Ah, anak ini pasti
mencontek juga sekarang. Orang waktu kuliah saja dia lemah di mata kuliah ini.
Aku tidak yakin kalau dia seperti kemaren lagi.” Ucapku
dalam hati.
Dengan
cepat pengawas membagikan soal serta lembar jawab ujian. Dan sekali lagi
rencana pun berjalan dengan lancar, walaupun ada sedikit masalah di
tengah-tengah, namun keseluruhan bisa dikatakan lancar.
Kenapa
setiap ujian tak pernah sekali saja aku tidak memikirkan Yudi. Begitu juga saat
itu, rasa benciku tiba-tiba muncul.
“Ih, anak ini. Sok alim
banget sih. Nyontek tidak mau, dicontekin juga tidak mau lagi. Emang dia pintar
apa? Sok alim banget sih...”
Setiap ujian
yang pernah kulihat sekali saja dia tidak pernah memalingkan mukanya. Atau
memang dia sedang sakit leher? ejekku dalam hati. Dia selalu kukuh untuk tidak
menyontek.
Seperti
biasanya ujian hari itu berlalu lancar dengan berbagai strategi kami. Juga hati
ini terasa lega dan puas. Karena pasti orang tua tidak akan marah, dan ada yang
dibanggakan ketika IPK diatas tiga. Tidak seperti dahulu waktu SMA yang setiap
tugas yang diberikan guru selalu tidak bisa dikerjakan, apalagi selalu dimarahi
orang tua ketika diajari tidak ada yang masuk ke otak. Pokoknya dahulu penuh
tekanan. Beda dengan sekarang yang orang tua tidak akan ikut campur urusan
kuliah, yang terpenting hasil bagus.
Hari
dimana hasil ujian dibagikan menjadi suatu keasyikan tersendiri bagi kami.
Seperti menunggu film terbaru yang akan launching di bioskop. Tak sabar aku
menunggu hasil ujian semester ini. Aku yakin semester ini seperti semester
sebelumnya akan sempurna. Paling tidak sekitar tiga. Aku yakin itu.
Ketidak
sabaranku membuat sel-sel ini ikut terpengaruh, sehingga dengan cepat kubuka lepi yang selalu menemaniku selama
kuliah disini, walaupun hanya game dan film yang memuncaki rating tertinggi
aplikasi yang sering kubuka. Jari-jari ini menari dengan cekatan bersama tuts-tuts-nya mulai dari membuka
rangakaian-rangkaian kode yang kupasang dalam lepi-ku. Masuk kedalam desktop yang berisi shortcut-shortcut game serta beberapa copy-an materi kuliah. Kuarahkan kursor ke browser dan langsung
kubuka situs dimana nilai-nilaiku terekam.
Senyum
lebar mengembang dari bibirku, menggambarkan kumpulan nilaiku yang sangat
indah. A, B, B+ menghiasi sebagian besar hasil kuliahku untuk kesekian kalinya.
Seketika
itu aku teringat temanku yang sok alim itu, Yudi. Walaupun ada rasa benci di
hati dengan sikapnya yang sok itu, namun dia juga tetap kuanggap teman.
“Bagaimana
ya nilainya?Dia kan tidak pernah nyontek di kelas. Kalau sampai bisa bagus
sepertiku ini, wah kurang ajar anak ini. ”
Aku
sedikit ragu dan kasian dengan nasibnya nanti. Yudi sebernarnya anak yang baik,
namun dengan keangkuhannya itu menjadikannya banyak dibenci teman sekelas.
***
Keesokan
harinya aku pergi kekampus, walaupun tidak ada kuliah tapi aku ingin melihat
bagaimana nasib teman-temanku. Sesampai di kampus langsung kutemui papan
pengumuman di jurusanku. Dan pandanganku langsung mengarah pada daftar nilai
mahasiswa-mahasiswa matematika 2010. Satu persatu kawan karibku tak lepas dari
pengamatan.
“Ah, dasar kurang ajar
kau Dib. Padahal kau kemaren banyak diamnya, tapi nilaimu bisa melebihi aku.
Pakai dukun mana kau? Hahaha.”
Sedikit sebal aku dengan Adib yang
mempunyai nilai diatasku, padahal dia itu kalau dibandingkan denganku masih
pintaran aku.
Searah dengan jari-jariku
mengurutkan nama-nama di papan pengumuman. Kutemukan nama yang tak asing lagi.
Dan kuurutkan dengan nilai-nilanya.
“B,
C, D, C, C”
Nilai-nilai yang kelas low-end tersebut
yang terpampang di papan pengumuman. Dengan sedikit angkuhnya aku menghinanya.
“Dasar
sok alim, rasain tuh nilai-nilaimu.”
Tiba-tiba
Si Yudi menepuk dari belakang. Dan dengan santainya menanyakan nilainya
kepadaku. Dengan berlagak friendly dia
menanyakan itu dengan merangkul pundakku.
“Wah nilaiku pas-pasan
lagi ya? Hahaha. Tapi tak apa-apalah yang penting masih sesuai syarat.”
Dalam hatiku santai sekali anak ini,
tidak ada beban sama sekali. Hasil yang seperti tadi dianggap seperti angin
lalu, seperti tidak ada apa-apa yang terjadi. Karena penasaran kuselidiki
keseharian Yudi dengan sembunyi-sembunyi.
Mulai dari teman dekatnya satu persatu
aku tanyain bagaimana keadaannya saat bersama mereka. Apakah dia anak yang
pintar atau bagaimana kesehariannya bisa sampai sesantai itu dengan nilainya?
Mereka pun hanya menjawab biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa dari Yudi.
Kurang puas, kukunjungi rumahnya.
Namun hanya bisa kutemui orang tuanya. Kutanyakan pertanyaan yang sama kepada
ibunya Yudi. Dan jawabannya pun juga masih memuaskan hatiku.
“Yudi
itu dik, anak yang pendiem. Dan kerjaannya itu banyak didalam kamar.”
Sumber-sumber yang lain pun juga aku
tanya satu persatu. Dan hasilnya sama saja, Dia sama seperti mahasiswa biasa
yang lainnya. Tidak ada yang istimewa dari Yudi.
Karena sangat penasarannya di lain
hari kukunjungi Yudi di rumahnya yang kebetulan hari itu hari libur. Ibunya yang
sebelumnya pernah bertemu denganku mempersilahkanku masuk dan menyuruh agar
langsung menemui Yudi di kamarnya.
“Eh
Mar”
Yudi terlihat kaget dengan
kedatanganku. Sepertinya aku mengganggu keasyikan dalam menulis. Apakah dia
menulis cerita, tugas, atau yang lain aku takterlalu memperhatikannya.
“Iya Yud, aku tadi lewat sini. Jadi
mampir saja, tidak apa-apa kan?”
“Eh, aku cuma kaget saja.
Silahkan...silahkan... Aku buatkan minum dulu ya?”
“Tidak usah repot-repot Yud, cuma
sebentar kok sepertinya.”
“Beneran tidak mau? sudah kamu
istirahat dulu saja. Cuma sebentar kok.”
“Hehehe, oke deh.”
Ketika Yudi pergi, kuperhatikan sekeliling
kamarnya. Biasa kebiasaan seseorang kalau melihat sesuatu yang baru, pasti
ingin tahu. Begitu juga denganku, mulai tempat belajar, kasur, almari, dan
berbagai sisi kamar kuperhatikan satu persatu. Lumayan juga anak ini, kamarnya
rapi untuk ukuran kamar cowok. Namun dari semua sisi kamar ada satu sisi yang
membuatku bertanya-tanya. Ada kumpulan buku yang banyak sekali dan kesemuanya
tertulis nama “Ryuki Aiko”. Siapakah
nama itu sampai dia mengoleksinya segitu banyaknya. Padahal nama itu nama yang
kurang terkenal.
Sangat penasarannya diri ini
membuatku membaca buku-buku itu. Ini novel? Kok sampai sebanyak ini ya? Novel
dari manakah ini? Apakah terjemahan dari Jepang atau asli Indonesia? Semua
pertanyaan itu langsung muncul di otakku.
Waktu Yudi datang kutanyakan perihal
novel tersebut kepadanya. Jawabannya sangat singkat. Iya itu koleksiku sejak
lama. Ketika kutanyakan ke orang tuanya pun, mereka juga tidak tahu. Mungkin
koleksinya dik, kan Dia sering baca novel begitu.
Setelah obrolan yang lama bersama
Yudi aku pun pamit pulang. Sesampai di rumah langsung kucari semua informasi
tentang novel itu dan nama Ryuki Aiko. Dan ada salah satu artikel yang
mengulang penulis novel itu dan kutemukan fakta bahwa...
“RYUKI AIKO = YUDI PRIMAHENDRA”
0 comments:
Post a Comment