Sudah Siapkah?

[Sesi Curcol] Hahaha

Tulisan ini juga sebagai arsip dari Sekolah Pernikahan. Yah dibilang curcol emang curcol. Hahaha.
* * * * *

Dulu ketika awal kuliah sudah berkeinginan menikah, bahkan sampai merancang master plannya. Tapi sampai sekarang Tuhan menakdirkan hal yang lain. Ya memang masih sekedar planning saja, belum beranjak ke pelaksanaan. Hahaha. Sebagaimana resolusi-resolusi awal tahun yang di akhir tahun hanya jadi lembar revisi untuk tahun selanjutnya. It's horrible.

Aku jadi berpikir aku belum siap menjadi suami. Menjadi ayah. Bukankah Tuhan selalu memberi amanah sesuai dengan kualitas hamba-Nya? Dan sekarang Tuhan belum memberikan amanah itu. Seburuk itukah aku? Sampai-sampai Tuhan saja belum mempercayai amanah itu. Memang amanah itu salah satu amanah yang sangat berat (mitsaqan ghaliza). Dan dihitung menyamai separuh agama. Bayangkan sodara-sodara ibadahmu sebanyak dan sekhusyuk apapun itu masih belum mencapai separuhnya. :D Tapi... tapi walaupun begitu sudah banyak kerabat yang menikah, yang berhasil menyempurnakan separuh agamanya, memasuki ranah baru dimana ibadahnya berlipat-lipat. Hmm...

Aku jadi tersenyum sendiri ketika mengungkapkan kata-kata itu ke cermin. Menjadi seorang suami, seorang ayah. Sementara ibadah saja masih dalam taraf wajib, yang sunnah ya kalau sempat, itupun masih belum sekhusyuk bapak-bapak yang sadar sudah mendekati ajal. Ah oya aku sampai lupa tentang penghasilan. Boro-boro mikir rumah, kontrakan saja masih dari orang tua. Penghasilan sih ada, tapi ya sekedar ada. Cuma cukup buat jajan. Maklum freelance, bahasa kerennya dari serabutan. Dan jangan coba-coba tanyakan perihal pengetahuan agama atau keluarga.

Dan setiap kutanyakan kembali pertanyaan ini rasanya seperti dipukul gada baja di dada. Sudah siapkah kamu jadi Suami? perisai bagi bidadarimu. Siapkah jadi ayah? tembok kokoh keluargamu. Sudah siap? Rasanya sakit bercampur malu. Umur sudah mendekati 23, tapi... ah sudahlah.

Setiap malam selalu kutanyakan dua pertanyaan itu. Sudah siapkah menjadi seorang suami. Setiap pagi bangun lebih awal, membangunkan istri. Membersihkan halaman, bersiap kerja. Bercengkerama kepada tetangga setiap hari yang sungguh harus meninggalkan ego pribadi, ego masa muda. Juga termasuk menghadiri acara-acara lingkungan yang sering itu membosankan. Menafkahi anak orang lain. Bukan sekedar mikir nanti mau jajan di mana, tapi sudah mikir nanti, esok, lusa apa yang bisa dihidangkan di dapur keluarga. Menjadi sahabat seumur hidup seorang yang mungkin selalu naik turun emosinya. Merangkap pula ayah baginya.

Sudah siapkah aku menjadi seorang ayah? Yang selalu stand by 24 jam dalam pikiran di mana pun saat itu berada. Sedang kerja atau istirahat harus siap siaga kala bayi butuh. Apalagi ketika masih dalam kandungan. Menjadi konsultan psikolog-nya setiap hari. Membantunya wira-wiri cek kesehatan. Bersiap tengah malam disuruh nyari bakso di stasiun. Siap siaga pula mendampingi kelahiran istri (yang ini aku gak tahu apa aja yang harus dilakuin, dan katanya cukup ribet. :D). Lalu mulai mendidiknya di rumah, tentunya dengan sikap kita. Mencarikan sekolah yang baik, memberikan asupan gizi yang baik, membinanya dengan pengetahuan islami sampai dia siap menjadi pilot sendiri bagi hidupnya.

Aku belum berpengalaman dalam itu semua, jadi aku belum bisa kasih wejangan apapun, malah aku minta wejangan dari para senior-senior di sini. :D
Maka dari itu hanya ingin bertanya, sudah siapkah?

About the Author

muchtarps

Author & Editor

Mobile developer muda. Kadang berubah menjadi batman pada malam hari. Siang harinya berubah juga kalau lagi mood. Bekerja di bawah naungan bos dermawan dan rendah hati. Yaitu saya sendiri.

0 comments:

Post a Comment



 

Copyright © Mahya. All rights reserved. Template by CB Blogger & Templateism.com