Berkawan dengan Jomblo


Sebagai seorang yang telah mempunyai pasangan. Bukan waktunya lagi untuk berlomba-lomba menjadi kompor, apalagi ditujukan kepada mereka yang sedang membangun pondasi kesendiriannya. Antara mereka yang berpasangan dan jomblo ada namanya komunikasi, dan biasa disebut bermasyarakat. Titik inilah yang seharusnya diberikan porsi lebih untuk dipikirkan, bukan poin di mana perbedaan bertemu.

Jika kalian bertemu dengan seorang jomblo, dekatilah mereka, ajaklah mereka bicara santai. Sekali-kali boleh kau beri dia semangat. Baik berupa perkataan maupun materi. Supaya mereka bisa bahagia, perlahan menjadi kaummu juga. Karena memang fitrah manusia adalah berpasang-pasangan. Bukan begitu, Tuan?

Jangan malah menjadi api di atas minyak. Kau sulut mereka. Kalian semua yang terbakar. Bersikaplah santun. Bukan malah kau jauhkan hati kalian dengan mereka. Menanyakan akhir kejombloannya misal. Tak ada gunanya, yakin deh. Poin pertama yang akan kalian dapat jika tetap melakukannya adalah, mereka tak akan cepat menjadi kaum kalian. Karena bukan begitu alur seseorang belajar dan berkembang. Poin kedua, Akan ada jarak yang semakin besar antara kalian. Karena mereka lagi-lagi hanya diiming-imingi mimpi, tanpa diberitahu cara menggapainya.

Cara terbaik setelah kalian bersahabat dengan para jomblo ini adalah jalani kehidupan kalian sebaik mungkin. Menjadi pasangan yang harmonis, kuat, sejahtera, dan sakinah. Bukankah aksi nyata lebih menancap di hati, Tuan?

Teori ini memang belum kujalani sendiri. Namun, sebagai seorang introvert, teori ini telah saya rangkum dari ratusan orang yang telah saya amati sampai berumur 23 ini. Jadi, jika Tuan hendak menempelkan teori ini dipermasalahan lain, saya sangat mengapresiasi.

Burqa Dilarang, Awas Cosplayer Juga Bakal Dilarang

Cosplay Kakashi | @ Devianart

Males ih, ketika lihat berita tentang pelarangan jilbab di suatu negara. Alasannya karena menyebarkan agama di publik. Malesi kan alasannya? Pengen ketawa aja. XD

Oke, it's fine. Tapi mereka membolehkan agama lain menggunakan atribut atau simbol mereka. Ya apa terus kalau enggak pilih kasih? Purba sekali hanya mengutamakan keluarga sendiri, ketika hidup di sebuah negara yang terdiri dari banyak keluarga. Seperti dulu ketika zaman perbudakan. Budak punya batas akses dalam bermasyarakat. Sementara Tuannya? foya-foya, Nyonya.

Lagi kita ambil contoh tidak diperbolehkannya burqa/penutup muka bagi muslimah. Alasannya gak bisa ngenali wajah, identitas bisa jadi diragukan. Terus apa nasib teman-teman cosplayer kita? Sementara ada tokoh-tokoh yang jika ingin mirip harus menutup seluruh badan, atau menutup mukanya.

Ini namanya, pemerintah sudah mengikat kebebasan berekspresi warganya, salah satunya para cosplayer. Memaksa manusia dalam tekanan kembali. Mengharuskan kita berpikiran secara purba kembali.

Kita harus selamatkan mereka! Kita buang saja ke lubang hitam mereka-mereka yang terlalu membatasi kreativitas pemuda, tidak malah memfasilitasi. Kita usir mereka yang terlalu udik berpikirnya, yang hanya mementingkan diri dan golongannya saja. XD Tapi sebagai pemuda modern yang dibuang jangan orangnya, melainkan sikap mereka, pemikiran mereka yang purba sekali.

Ojok Lebay, Kompromi Lah...


Kadang kita merasa jadi yang paling bijak, paling benar, paling dewasa. Sehingga kita seperti wajib membenarkan orang lain karena menurut kita salah. Tapi tahukah kalian masalah sebenarnya adalah karena kita merasa.

Mari sebentar kita singgung rumus dasar matematika. Ada namanya lingkaran. Dia memiliki 360 derajat. Jika bola kita hitung dengan cara ini akan kita dapatkan 41236 derajat. Dengan modal derajat tersebut mari kita kembalikan pada paragraf pertama. Kita ganti bola dengan bumi, lalu derajat dengan pendapat/pandangan. Maka akan kita dapatkan 41236 pandangan yang berbeda. Ini kita masih menghitung dengan bola yang bulat mengkilap, belum bumi yang banyak tanjakan ama turunannya. Mau perhitungan yang lebih detail? Di dalam 1 derajat tadi, masih kita detailkan lagi menjadi satuan yang beda. Entah manusia, mikro, nano. Apalagi ini masih di dalam satu cara. Kita tidak tahu ada berapa cara selain ini baik yang sudah ditemukan atau belum.

Jadi kawan, santai saja menghadapi isu, masalah, atau berita di dunia ini. Ojok lebay :p . Anggap saja pelajaran, karena banyak yang tidak kita tahu. Kita ambil isinya, kita lempar bentrokannya. Seperti kata Mr. Edi Akhiles, "Kompromi lah...." Seperti air mari kita mengalir lewat sela-sela setiap batu, ambil daun yang ada di sana, tapi larutkan debu yang menempel. Maka kita bisa menjadi sungai yang jernih, bukan malah menjadi air bah.

Kenapa aku malah ngeblog ginian? Kan harusnya ngerjain PKL dulu. -_-

Memahamimu


Move on atau belum, bukan indikasi kita tak bahagia kan? *nyariBenernya :D

Kau tahu tempat kau melamun meski mbak-mbak pelayan sudah memanggilmu? Aku di tempat itu sekarang. Orang bilang takdir, tapi tak kupercaya begitu saja. Meski hujan deras membuatku berhenti sejenak. Kakikulah yang melangkah melewati pintu dan duduk di tempat yang persis setahun lalu. Masih ada baumu di kakiku, tapi yang paling kuat tentu di kepala. Mungkin bila dibelah,
akan mencuat macam tabung gas pemadam kebakaran.

Namun, meski gas itu masih memenuhi segala sisa ruang kepala. Otakku masih berdenyut dengan cepat. Memaksa untuk menyelesaikan segala tugas, meningkatkan kemampuan badan. Ya, walau di selanya masih memikirkanmu. Mungkin ini sebuah anugerah, yang memaksa otakku bekerja melebihi kapasitas umumnya. Katanya jika kita bisa memaksimalkan fungsi otak melebihi dua puluh persen, kita bisa melakukan sesuatu yang mustahil, seperti para pesulap. Barangkali aku bisa menghadirkanmu lagi di depanku, tepat seperti setahun lalu, dengan tiramisu di bibir masing-masing, kita mengunyah kata kesukaan masing-masing. Dengan begitu aku bisa menunda agar gas ini tak berubah menjadi air, lalu menjadi semakin pekat.

Sampai sekarang aku masih gamang apa yang kamu lamunkan saat itu. Setiap malam salah satu scene itu pasti tampil di layar, “Itukah awalnya?” Apakah sikap dinginku yang sedang kau lamunkan? Yang selalu menyiksamu...?

Tapi kini ingatan itu juga menyiksaku. Setiap malam tak lepas kepala dari penat. Membuatnya sempurna berdenyut kencang dua puluh empat jam. Yang menjadikan baumu di kepala berubah menjadi pekat. Mungkin sebentar lagi akan menjadi kerak, tak bisa lagi dilepaskan.

Tapi, jika ini hukumanku karena tak segera paham, aku ikhlas. Aku akan menjalani hidupku bersama ingatan itu. Menjadi laki-laki yang berkembang, tumbuh, dan bekerja keras bersama segala hukumanmu padaku. Setidaknya sampai aku memahamimu. Semoga kau sabar menanti kebebalanku ini.

Berubah!!! Mari Menata Ulang



“Ibu, izinkan aku menikah.”

Statement macam atas biasanya banyak dipakai mereka yang sudah mepet-mepet akhir studi. Kalau yang udah kerja itu mah beda soal. Analisisnya ada jalurnya sendiri. Hahaha. Statement di atas seringnya sih buat update status, merana-rana barangkali ada satu dua perempuan mampir komentar atau sekedar ngeklik like. Setelahnya sih ya udah, kagak nikah juga. Mungkin itu teknik marketing mereka ya, sumonggo mawon. :D Tapi biasa banget update status! Udah banyak yang begitu! Pasaran! Kayak aku gini dong, ngeblog! #ups

Jadinya izin itupun kebanyakan gak proporsional, maksudnya ya sekedar kepingin aja. Misal kalau izin itupun jadi nyata, nggak yakin bakal berangkat nikah juga. Kebanyakan mereka yang bilang kayak itu ya ujung-ujungnya pengen curhat aja, terus biar dapet perhatian. Kalau dikasih izin mungkin mereka malah akan bingung mau melangkah darimana, yang disiapin apa aja, atau malah mundur perlahan.

Karena mereka yang sudah siap gak perlu minta izin. Yang belum diizinin itu ya yang belum siap. Masak iya minta nikah, ditanya syarat nikah aja masih buka kamus. Yakali bukanya cepet, ini masih nyari letak bukunya. Parahnya lagi masih mau beli bukunya. Ye udah mending beli buku dulu sono, pelajarin. Yakin kok orang tua malah bakal nawarin sendiri kalau emang udah siap.

Aku doain deh semoga mereka, para jomblo akut (kagak nunjuk diri sendiri) segera dilapangkan dada dan pikirannya. Jadi lancar banget pas diisi segala pelajaran dunia akhirat. Tangan kakinya gampang banget kelatih jadi gesit, jadi banyak karya yang muncul dari mereka. Mereka memiliki waktu lebih luang daripada mereka yang berpasangan. Moga aja bisa dipakai buat bikin karya sama upgrade badan plus ruhnya.

Setelah doa sekarang aksinya dong. Lalu gimana mulainya? Kalau menurutku satu-satunya yang paling manjur itu dipaksa. Seperti sekarang ini aku lagi ngerjain PKL bareng temen. Tapi kelupaan sampai 3 minggu, sedang waktu PKL itu kan cuma sebulan. Aku paksa untuk ngerjain GDD seharian. Besoknya konsultasi buat nyari dosen pembimbing (tuh kan, dosbing aja baru nyari). Terus seharian lagi ngerjain Laporannya. Setelahnya presentasi ke perusahaan. Semoga bisa Bener-bener dipaksa nih hati. Semoga aja cara ringkas ini berhasil.

Niatnya setelah PKL ini selesai, aku pengen buat #resolusi. Di antaranya segera lulus sama kerja. Lalu ngerjain beberapa hobi yang terbengkalai beberapa tahun ini. Tentu yang ngehasilin duit (eh, duit itu cuma efek dari hobi ya).

Salah satu hobi yang bakal masuk #resolusi ya ngeblog ini (Tapi kalau ngeblog kagak nyari duitnya, nyari senengnya). Aku bakal rutin paling enggak seminggu sekali nulis di sini. Itung-itung ini sebagai log #resolusi apa aja yang aku lakuin dan belum. Jadinya kalau aku udah tulis begini, terus mulai loyo lagi aku bakal malu sama temen-temen yang udah baca.

Kenapa Memilih Sendiri?



Postingan ini bisa diartikan NTMS atau alasan bagi mereka yang illfell dan juga kasihan ngeliat aku. Aku normal, gaess, hanya butuh pengertian aja kok. Ini bukan tentang status pernikahan bagi mereka yang mulai mikir macam-macam, karena orang yang memilih jalan kesendirian pasti ada kelainan. :D Berkaitan dengan pekerjaan.

Berdasar pengalaman, aku lebih nyaman ngerjain semua tugas sendirian. Lebih cepat menurutku, dan gak banyak beda pendapat. Tapi ini masih berlaku buat hal-hal kecil. Semisal tugas kampus atau kerja-kerja freelance. Mungkin juga aku belum ketemu sama partner kerja yang klop. Baik secara skill maupun kepribadian, jadinya sampai saat ini aku selalu kerja sendiri. I'm so picky right? :D

Alasan lainnya adalah i must work more harder than anyone else in a group to catch up. Banyak sekali teman kerja yang sudah sangat ahli dibidangnya. Sedangkan aku harus mulai belajar dari awal, ngeja atu-atu tuh pelajaran/kerjaan. Apa ada ya dissleksia ringan? Hahaha. Semoga saja aku normal. Itu pula yang buat aku harus belajar sendirian. Susah belajar bareng kalau gurunya gak bener-bener keren. Kerjaan yang lambat ini sering aku lakukan pas kerja kelompok ama mereka yang udah pro. Makanya supaya nggak bikin mereka lambat belajar, aku jarang ngajuin diri ke mereka. Selain itu biar bisa mandiri juga dong.

Alasan terakhir kayaknya aku masih lemah. Kudu mulai perlahan nyiapin diri sendiri, ngatur timeline kerja yang baik buat nih badan. Mulai bangun tidur, masak telor, kerja, ampek rekap harian sebelum tidur. Setelah itu sukses kayaknya aku bakal mulai berani lagi buka relationship sama orang lain. Sebelum itu, so sorry, gaess, aku sangat tertutup.

Generalisasi | Bu Susi & #RevolusiMental

Sebenarnya agak ragu mau bahas ini, tetapi daripada jadi beban sendiri, sharing jadi pilihan yang lebih baik. Tentang Bu Susi. :D Sudah hampir sebulan ini merenung tentang masalah ini. Saya bangga dan senang ketika melihat gebrakan-gebrakan kerja ibu Susi. Tetapi memang saya tidak suka dengan rokok dan tato.

Mengenai hal tersebut, banyak sekali teman dan ustadz yang merujukkan masalah ini dengan sosok pemimpin yang harus jadi teladan masyarakat. Lalu merembet ke masalah perbandingan antara akhlak dan kinerja. Bagaimanapun juga akhlak itu lebih utama dibandingkan kinerja.

Sekilas saya setuju dengan statement tersebut. Namun bukankah akhlak yang baik itu akan terpancar dari kinerja yang bagus. Akan tetapi kita tak bisa menghakimi akhlak yang buruk bagi orang yang kinerjanya kurang baik. Masih banyak faktor.

Kembali ke masalah utama. Saya gamang antara dua pendapat tersebut. Sampai-sampai saya pernah berfikir apakah kita harus memisahkan urusan agama dan kerja?

Untung saja masih ada Tuhan dan teman-teman yang juga dekat dengan Tuhan yang membuat saya menemukan jawaban dari masalah ini. Masalahnya hanyalah satu. Generalisasi membabi buta.

Kita semua adalah manusia. Tetapi memiliki sidik jari yang berbeda. Bahkan orang kembar pun tak ada yang sama, hanya satu di dunia. Begitu pun masalah (salah satunya yang sedang dibahas). Semuanya pasti ada perbedaan, tak bisa kita potong rata. Kasus Bu Susi, Ratu Atut, Bu Risma, dan masih banyak ibu-ibu laiinya yang mungkin bisa kita cocok-cocokkan atau bandingkan satu sama lain. Tapi jika kita berlaku fair, kita hanya perlu menilai satu persatu, lalu ambil hikmahnya. Finish!

Yah semoga saja #RevolusiMental itu bisa membuat anak Indonesia jadi lebih baik. Tak lagi berfikiran yang terlalu menggeneralisasi, tak memaksa untuk membandingkan sesuatu yang masih ada logika yang salah di sana.

Gadis Bermata Sayu



Seseorang berwajah putih, bermata sayu, dengan jilbab ungu yang membuatku seperti ini. Bangun lepas subuh, mandi dengan air beku malang, lalu duduk manis tepat depan perpustakaan kampus yang belum buka. Hanya berteman bangku-bangku besi yang berjajar panjang. Aku duduk paling ujung, agar pandanganku luas. Tak ingin kehilangan kesempatan menemui gadis bermata sayu itu.
Lepas satu jam. Mata sayu itu belum tampak. Beberapa mahasiswa mulai ramai. Memarkir sembarang kendaraan mereka di sisi jalan. Yah, kampus ini memang kekurangan lahan, atau kelebihan orang? Haha. Mereka terburu-buru sampai terbirit-birit. Sepertinya mereka bangun kesiangan.
Tiga jam kuhabiskan dengan duduk. Hampir seluruh tempat duduk penuh. Tapi mata sayu itu masih belum terlihat. Kuedar pandang ke kerumunan mahasiswa di kolam belakangku. Bukan. Kulempar jauh pandang sampai seberang. Tch. Hanya satpam yang sibuk dengan kopi dan ketawa.
“Permisi mas...”
Mataku berbinar. Kutengok langsung ke belakang. Aku ingin segera menyap... Ah sayang sekali. Kukira gadis bermata sayu itu. Ternyata hanya mahasiswi yang ingin menggunakan colokan di sampingku. Dugaanku dia anak baru, dilihat dari wajah SMA-nya.
“Iya, silahkan.”
Banyak orang lalu lalang. Lalu lintas mulai padat merayap. Ini tandanya sudah siang. Aku pulang. Sekarang giliran jaga warnet. Hari ini mungkin cukup. Yah, semoga esok ada hasil.
Lima hari sudah rutinitas ini kujalani. Bosan mendera. Belum juga berhasil kutemui gadis bermata sayu itu. Sejak pertama bertemu dengannya tanganku berubah jadi batu. Kaku. Selalu ada yang kurang dari lukisanku. Dan salah satunya adalah lukisan gadis itu.
***
Ini berawal lima hari sebelumnya. Di acara ulang tahun kampus. Mereka mengadakan lomba lukis sebagai salah satu acara parade seminggu penuh. Ini hal baru di sini, karena sebelumnya hanya di isi konser. Paling-paling hanya satu dua yang menarik. Salah satunya wayang kulit. Tapi sekarang mereka berpihak padaku. Selain wayang kulit, mereka mengadakan lomba lukis. Membuatku semakin bergairah datang ke kampus.
Tapi saat hari H, di mana semua peserta di uji untuk melukiskan kampus dalam waktu delapan jam. Membuatku kelabakan. Deadline. Yah, deadline itu musuh besarku. Kepalaku buntu ketika harus dibatasi. Baik waktu maupun tema.

Bro, ketika denger UB. Yang kau pikirin apa?

Kukirim pesan ke temanku.

Macet lah.

“Hmm, macet ya? Okelah....”
Kuarahkan kuas pada kanvas. Kuarahkan pula mata mengikuti kuas. Tapi tunggu... di balik kanvas. Kau pernah saat kecil. Dipaksa ikut acara nikah. Dipaksa menyalami orang tua yang tak kau kenal. Hanya untuk basa-basi. Lalu kau melihat pojok souvenir. Ada boneka adat di sana. Tak lama kemudian kau asyik dengan boneka adat di duniamu sendiri. Itu yang kualami sekarang kawan. Mataku tertawan. Ada sosok yang melukis senyum di wajahku. Menawan mataku hingga tak ingin berpindah haluan darinya. Namun mengubah seluruh haluan kepadanya, termasuk lukisanku. Aku melukisnya, kawan.
Kumulai dengan sungging senyumnya yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup. Menghias senyum teduhnya, kulengkapi dengan paras sendunya. Aku tersenyum. Dan satu yang paling aku idamkan dari lukisan itu. Mata sayunya. Ya tatapan sayu itu telah menawan hati. Tetapi lepas delapan jam hanya wajahnya saja yang kulukis. Pun tanpa pewarna yang lengkap. Wajahnya saja tak pernah selesai kugambarkan, selalu ada yang kurang. Apalagi menghiasi keseluruhan menjadi karya yang utuh. Kuserahkan saja lukisan itu ke dewan juri.
Biarlah lukisan itu tak selesai. Kini ada yang nyata di depan mata.
“Ada apa di balik temaram lampu jalan?” malam itu aku pun memberanikan bertukar sapa. Mengulur salam.
“Oh, maaf... lukisanku ya?” Ia kaget.
“Yap... apa ada kenangan dengan yang dahulu?” Oke... langkah pertama.
“Karena kita baru menilai sesuatu ketika adanya mulai terbatas. Termasuk cahaya.” Wajahnya mulai serius.
“Tepat. Seperti seorang berparas sendu di tengah kesangaran para lelaki. Haha”
Pembicaraan kami mulai larut. Apalagi ketika mata saling berpapasan. Tapi sayang, sift jaga menutup pertemuan itu. Aku pulang, tapi ada yang tertinggal.
Dan itulah yang kucari sampai sekarang.
***
Itulah yang kucari sampai hari kelimabelas. Tapi belum juga kutemukan gadis bermata sayu itu. Bahkan namanya pun aku lupa memintanya. Penat. Apa ini hanya pemanis semata? Seperti sedia kala? Yah, lebih baik kuterbangkan angan yang tak sampai itu. Biar saja angin mengemasnya ke dalam sebentuk kenangan. Salah satu angin itu adalah berlibur.
Berlibur bersama kawan sepermainan menjadi rutinitasku. Setidaknya sebulan sekali. Berhubung budget kita tipis, jadilah Alun-alun Batu tujuan refreshing kami kali ini. Walaupun begitu, tempat ini masih memberikan suasana wisata mahal. Cukup keluar uang dua ribu untuk parkir, ditambah dua ribu untuk kopi. Kami bisa menikmati jalanan serta taman yang ramai kerlip lampion. Dan terlebih, ada rasa rumah di sini.
Tentu aku juga membawa buku sketsa, peralatan wajib. Malam di sini menjadi salah satu candu setelah renovasi. Kau bisa melukis banyak emosi dari segala umur di sini. Malam atau siang sama saja. Akan selalu ramai. Aku pamit dari rombongan yang di seberang jalan, mereka paham. Aku memilih duduk di depan air mancur. Ada riang anak-anak yang bermain air di sini, tak lupa muda-mudi saling memadu kasih.
Malam di Batu bisa membuatmu ketagihan untuk selalu datang. Mereka menawarkan eksotisme parade lampu di tengah sejuk hawa pegunungan. Apalagi ketika kau bisa melihat arsitektur alami itu dari ketinggian. Oh ya... di Alun-alun ini kau bisa menyaksikannya juga. Ada bianglala yang menjadi ikon Alun-alun Batu. Karena memancarkan cahaya paling terang. Ketika dari kejauhan, kau lihat kerlip terang memancar. Itulah bianglala ini. Mungkin aku harus mencobanya lagi. Bukankah melihat dataran yang luas bisa membuat hatimu lebih luas?
“Pak, tunggu...!!” Aku berteriak dan sedikit berlari-lari kecil. Bianglala itu sudah mau jalan.
Ah... untung saja aku bisa mengejar dan penjaga itu sabar menunggu. Ada orang lain di dalam.
“Mas, berdua sama yang lain ya? biar imbang.” Ucap penjaga bianglala.
“Iya deh pak...” Sebenarnya aku ingin menikmati ini sendirian. Tapi ya sudahlah, namanya juga wisata umum, murah lagi. “Permisi... eh!!” Gadis itu....

Logo Forum Lingkar Pena | Corel X5 Version

Mohon maaf bagi yang mampir kesini ngira postingan tentang arti logo FLP. :D



Postingan ini hanya bertujuan untuk berbagi file corel logo FLP. Berawal dari keprihatinan atas poster-poster FLP dari berbagai daerah yang (maaf) miskin pengetahuan. Apalagi cuma asal tempel gambar sama teks saja, dan tak jarang resolusinya selalu kecil yang bikin gambar pecah. Maka dari itu saya unggah file ini, semoga sedikit membantu bagi temen-temen yang mau bikin acara. See yaa...

Link download logo FLP

Untuk desain lainnya, silahkan download template poster/flyer/spanduk yang banyak tersebar di internet secara gratis. Salah satu website yang menyediakan adalah Freepik.

Jangan lupa gunakan font yang menarik dan terbaru. Dan lagi-lagi sudah tersebar gratis di dunia maya. Salah satunya di Dafont.

Tinggal edit-edit dikit, voila. Tak perlu ribet belajar desain dan membuat dari nol.

Terbang

   Undangan ada di tangan, pink beramu biru muda. Pertama pandang, sungguh megah adanya. Tapi, pandangan pertama memang sering menipu, wajah sering beda sekali dengan hati. Wajah lipatan itu memang cantik, aku terpesona. Tapi, isinya malah membuatku terpaku. Apa benar yang kulihat, Dib? Yang tertera itu? Namamu.... Aku mungkin seperti memegang bara api, membakar tanganku, mengacak otak, dan yang paling parah, panas itu menembus ulu hati. Hancur.... Kau tak sedang jahil padaku kan, Dib? 
   Aku lelah. Akankah seperti ini akhirnya? Kuletakkan surat itu di atas tumpukan buku yang mulai menggunung. Aku tersenyum sinis. Sejak kapan aku suka baca buku? Tapi, lihatlah Dib! Jika kau ingin ke perpustakaan, kau cukup ke rumahku. Berjejer rapi novel, buku psikologi, motivasi, sampai buku agama. Belum semua kubaca. Yang sudah kubaca pun itu kupaksa. Agar aku tak terlalu banyak berkata “oh...” di depanmu. Lebih cair.
   Apa ini salahmu...? Ini salahku yang terlalu dalam mencintai.
   ***
   Pernah kau berlibur ke Lombok. Lalu dengan nada mengejek, kau pamerkan kemolekan pantai sana, bersih, sepi, luas, bagai surga tersembunyi, tak lupa kau singgung Rinjani. Mana ada yang tak iri? Apalagi itu dari mulutmu. Sejak kata ejekan pertamamu saja, aku sudah membayangkan berada di sana bersamamu. Tapi kau tak peka. Aku sebal. Terlebih ketika kau kata sedang menikmati plecing kangkung tepat di bibir pantai. Kalau ada kata di atas sebal, pasti sudah aku pakai. Tapi aku senang bisa berbincang denganmu, meski dalam bahasa ejekan.
   Keesokannya aku menelepon Faris, sahabat kita, yang kini jadi chef di hotel besar. Aku ingin membalas ejekanmu. Kalau ternyata aku juga bisa merasakan plecing kangkung di sini, lebih enak bahkan. Dan impianku bersambut gayung dengan senyum optimis Faris, Dia paham masakan itu.
   Lusa, datanglah Faris lengkap dengan bahannya. Mendikte apa saja yang harus aku lakukan. Memotong sayur, mencampur bumbu, menumbuknya, Faris selalu mengawasiku. Tapi, diriku malah seperti anak kecil yang sedang membantu mamanya memasak, merusak segalanya.
   “Hah! Ribet sekali sih, Ris? Tak ada bumbu instannya apa?” Ngambek. Kulempar badan ke sofa. Putus asa.
   Faris tertawa renyah. Membuatku makin sebal. Tapi dia melanjutkan hasil masakanku yang kacau balau. Mungkin dia memulai dari awal, karena memang hancur sekali buatanku. Kutengok dari balik sofa, serius sekali wajahnya. Coba kau bisa bercanda sedikit, Ris, pasti banyak yang tergila-gila padamu.
   ***
   Kusapa gunung seberang yang tampak samar, sebatas siluet hitam berselimut kabut. Kusisir puncaknya melewati rimbun yang terlihat hijau samar. Setelah ini mungkin aku akan membenci pagi. Sungguh jahatnya dia pagi ini, membawa aroma kelam nan dingin menembus hati. Tak hanya kulitku yang ditusuk-tusuk dingin. Hatiku sudah babak belur. Aku termangu setengah jam tanpa tanda hidup, mematung. Ah, mataku sembab.
   Aku masih terduduk lesu di depan teras. Membiarkan matahari perlahan menyapa mata, badan yang semakil kecil, menuju kaki. Ada telepon dari Faris. Dia mencariku yang tak muncul juga. Aku lupa. Bergegas kusiapkan semua, lalu berangkat. Di depan cermin, kupatut-patutkan diri, terutama wajah ini. Wajah bahagia wajib kupakai hari ini, hari spesial sahabatku.
   ***
   Faris melambai-lambai, tersenyum lebar memanggilku. Walau di tengah kerumunan, siapa tak akan cepat mengenali orang dengan kepala plontos mengkilap? Segera berjalan ke arahku, lengkap dengan mulutnya yang tak berhenti mengunyah.
   Aku takjub dengan konsep acara ini. Taman, barbeque, iringan akustik. Tak ada lagi rutinitas kaku di sini. Terbebas sudah dari gaun Jawa, jejeran tenda, maupun menu yang selalu seragam di semua tempat. Tapi, tetap saja hawa di sini membuat iri. Melihat orang bersalaman, mengikrarkan janji. Lalu, di sisi lain ada sahabatku menunggu. Tegang. Hingga kata itu akhirnya di ucap bersama-sama. Bahagia? Lega? Kata-kata itu masih jauh sebagai penjelasan dibanding melihat wajah mereka secara langsung.
   “Kau, bagaimana, Nad?” Dari samping Faris tiba-tiba bertanya.
   Aku menoleh dengan wajah merah. Sebal. Jangan bilang dia ingin mengeluarkan pertanyaan rutin tiap hajatan ini. Sampai dia bilang. Aku akan langsung pergi, ke belakang mungkin pilihan yang bagus. Capek menanggapi pertanyaan yang tak perlu jawaban seperti itu.
   “Setelah ini kau mau ke mana, Nad?”
   Gelagapan. Salah tingkah. Berarti tadi dia tak bermaksud tanya kapan giliranku menikah? Ah, Tuhan..., cepat emosi sekali aku sekarang ini. “Eh, kalau kau?”
   Toronto bukan tempat yang dekat, dan Faris pernah bicara kalau dia ingin meneruskan belajarnya. Menyebut, bahwa di sana ada orang yang ingin sekali ditemuinya untuk berguru. Tahun ini kesempatan itu datang.
   “Menurutmu bagaimana, Nad?”
   “Maksudmu apa, Ris? Kenapa harus tanya aku? Bukankah itu cita-citamu sejak lama? Kalau tak kau kejar sekarang, bisa jadi kau tak akan pernah bisa mengejarnya. Matahari hanya akan muncul waktu pagi.”
   Dia hanya tersenyum. “Terima kasih, ya, Nad.”
   “Mungkin aku juga harus mengikutimu, Ris. Berkutat di kota ini begitu lamanya, membuatku semakin sesak. Sudah saatnya aku mengepakkan sayap lagi.”

Kucing Hitam


Oleh : Muchtar Prawira Sholikhin*

Seekor kucing hitam berekor pendek. Menyelinap ke dalam kantin. Yang isinya tak penuh juga tak sepi pelanggan, sekedarnya saja. Dua tiga langkah. Ia diam. Duduk termenung memandang sendok dan garpu yang saling bertabrakan dengan piring, menimbulkan bunyi yang semakin melaparkan perut. Dengan sesekali menggaruk leher yang selalu gatal, diamatinya jajaran pelanggan di depannya, disapunya dari kanan ke kiri. Ada empat orang duduk berjajar, mungkin mereka satu geng. Lahap dengan nasi masing-masing, ditemani gemeritik piring dan sendok. Orang paling kanan melempar sisa ke tanah. Itu kepala ikan. Secepat kilat ia terobos angin menjemput pengganjal lapar. Melewati satu dua kursi yang kosong, berlompat-lompat menghindari pancang-pancangnya. Tiba ia di depan orang paling kiri. Tanpa berhenti ia lanjutkan larinya. Belum selesai satu kaki melanjutkan langkah, satu kaki orang paling kiri itu melayang, gagah dengan pantofelnya. Menyambar tepat perut yang masih keroncongan. Menghempaskannya sampai ke tembok.
Ancaman. Lari secepat mungkin adalah solusi. Masa bodoh kepala ikan yang sudah di depan mata. Masa bodoh pula dengan perut yang semakin perih. Sekejap kilat sampailah di luar kantin, depan pintu. Menengok ke dalam sekali, memastikan kembali apa yang dihadapinya tadi adalah wajah penguasa. Wajah ketamakan.
Cukup sudah deritanya lalu. Tak terpikirkan lagi. Jalanan sekarang jadi rumahnya, dunia yang lebih luas, pun juga lebih keras. Berjalan seiring mata memandang sekarang yang ia lakukan. Menanti barangkali bertemu Tuhan di penghujung jalan. Barangkali bertemu pengganjal perut di kiri atau kanan jalan. Sambil terus berjalan berarah tempat Tuhan berada, ia edarkan pandangan ke segala arah, tak ingin Tuhan terlewat. Tempat sampah. Ya, bertemulah ia dengan tumpukan penuh sampah. Dengan perut yang semakin terlihat tulangnya tak perlu lagi ia menghitung seberapa busuk sampah itu. Yang sekarang ada di pikirannya adalah perutnya penuh, hidupnya bergairah, maka jalan pun terang di hadapannya. Ia buka selembar demi selembar kertas, plastik, kaleng, serta barang lain sampai menemukan yang ia cari. Sayang, tempat itu bukan daerah pemukiman. Yang ia temukan hanyalah onggokan kertas dan plastik, ditambah beberapa batang kayu dan daun yang mungkin ada orang menyingkirkannya dari jalan.
Lewatlah pengharapan itu, namun masih ada pengharapan yang lain. Terlupalah satu tempat sampah kosong ke tempat sampah lain. Bumi masih terbentang luas, jalan juga masih terhampar di depan. Tentu masih ada harapan yang juga terbentang. Dan tak berlangsung lama kembali ia temui tempat sampah. Diobrak-abrik isinya, namun sama lah nasibnya kali ini. Tak menemukan jua sang harapan. Begitu selanjutnya kisahnya. Mengais satu demi satu tempat sampah, dan kembali menemui kehampaan.
Ia lanjutkan perjalanan. Berharap pada tempat sampah berikutnya akan ditemuinya jua. Terlewat banyak blok di depan, banyak pula kekecewaan ia rasakan. Mulai putus asa lah ia, namun Tuhan berkata lain. Ketika keputusasaan hampir merenggut seluruh keyakinannya, keberuntungan naik ke permukaan. Tercium bau tongkol goreng, lengkap dengan aroma saus manisnya, tercium sampai jauh. Mengoyak gelisah perut yang semakin menjadi-jadi. Didatangi lah tempat itu. Diamati kiri kanan, berharap tak ada makhluk lain selainnya. Tak mau lagi terulang pengalaman di kantin, ia mengendap-endap penuh perhitungan. Keberuntungan kedua, pintu rumah terbuka, cukup sebadannya menyelinap. Perlahan-lahan matanya selalu mengintai. Yakin tak ada masalah. Bergegaslah ia berlari, lompat ke kursi, lompat lagi ke meja, menggigit sebuah tongkol, lalu bergegas melompatlah dari meja ke tanah, cukup tinggi. Namun bahagia mulai timbul di pikirannya, juga di perutnya. Aku bisa bertahan hidup. Tapi secepat kucing itu pula pemilik rumah beranjak, entah dari mana, mungkin juga sedang mengawasi sedari tadi. Dihantamnya kepala kucing itu, menggoyahkan lakunya. Dengan sedikit sempoyongan, semakin dikencangkan lari si kucing hitam. Selamatlah ia masih bisa kabur dari rumah. Tapi tongkol yang sudah di ujung mulut tadi ikut terlempar ketika kepalanya dihantam. Hilanglah sedikit kebahagiaan yang sempat muncul. Tapi untung ia sempat merasai sedikit saus di mulutnya. Sedikit memberikan rasa pada mulut dan tenggorokan, walaupun tak sampai perut.
Banyak manusia yang selalu bilang, “kucing saja ada yang beri makan,” ketika manusia itu belum berpenghasilan. Tapi di zaman sekarang apakah kalimat itu masih relevan? Bukankah sudah sepatutnya diganti, “kucing seharusnya ada yang beri makan.” Ya, tepat seperti itu. Mana bisa sekarang semua didapat tanpa adanya uang? Tanpa adanya pengorbanan? Tapi apakah pengorbananku masih belum cukup untuk mendapat sebuah saja tongkol.
Kini ia hanya berjalan mengikuti ke mana langkah mengarah. Mungkin kembali mengais di jalan menjadi satu-satunya jalan. Tanpa adanya pukulan yang membabi-buta dan amarah, dia bisa bebas menikmati usaha, walau hasilnya tak selalu senikmat usahanya. Dan berjalanlah ia ke mana pun jalan terhampar. Mengikuti jalan selepas mata memandang. Dan sekali lagi, ia bergantung pada takdir. Semoga perutnya kini bisa bertambah berat, bertambah lega. Kembalilah seperti rutinitas sebelumnya. Berjalan ke mana arah, lalu mengais di mana tempat sampah menggunung.
Masih di sekitaran pemukiman warga, di ujung tepatnya, di tepi jalan raya, ia temui tempat sampah yang cukup harum baginya. Penuh dengan yang ia tahu, ikan, tulang-belulang dengan sedikit daging, tahu tempe, serta sisa makan lain yang sungguh menggugah selera. Segeralah ia mengaisnya, ditemui sebuah bungkusan yang cukup berat, dikeluarkannya dari tempat sampah, dikoyak pembungkus hitam itu. Dan berhasillah ia mendapatkan surga dunia, berhasil menemui di mana Tuhan berada. Namun tak berlangsung lama ada kucing lain mendekat. Berlari bahkan. Lalu menubruknya. Membuatnya terlempar dari posisinya yang siap melahap hasil mengaisnya. Beradulah cakar dua kucing ini. Kucing hitam melempar cakarnya, dibalaslah dengan cakar di muka oleh kucing satunya. Masing-masing saling meraung, menyuruh yang lain agar pergi. Tak ada yang pergi. Mereka berdua saling bersiap siaga, tanda akan menyerang. Dan tak perlu hitungan waktu yang lama bergulatlah kedua kucing jalanan ini. Berguling-guling hingga ke jalan. Tak disangka ada mobil lewat. Tak kencang memang, tapi kecepatannya tak bisa dikalahkan kedua kucing ini. Terlindaslah mereka. Satu terkena ekornya yang kini bengkok. Satunya, yakni kucing hitam beruntung memiliki ekor pendek, sehingga tak terlindas ekornya. Tapi naas, kaki kiri belakangnya yang terkena.
Sontak, mereka lari kencang, sekencang yang masing-masing bisa. Kabur dari raksasa itu, yang bisa jadi akan terus mengejar mereka. Si kucing hitam lari sebagaimana kaburnya dari kantin dahulu. Namun kini dengan kaki yang pincang. Ia tak bisa lari jauh. Ditambah perutnya yang semakin keroncongan membuatnya hilang tujuan. Kemana lagi harus dilangkahkan kaki?
Sudah lemas ia berusaha. Badan lebur dikandungnya, hati capai ia rasai. Kini ia sudah lelah pada hidup. Mencuri. Biarlah sekali lagi dicobanya. Kini ia hanya pasrah. Entah nanti mati atau hidup bukan lagi pikirnya, toh tanpa makan mati juga. Ia hanya ingin secuil atau barangkali dua sampai tiga cuil daging demi perutnya.
Dimulailah usaha terakhir. Kembali ke kantin yang memiliki lebih banyak dari rumah yang ia sambangi tadi. Tanpa rencana, mulai mengendap-endap. Menahan sakit pada kaki pincangnya ia telusuri kantin dari pinggir. Bersembunyi di bawah gelap kursi-kursi. Merunduk-runduk mirip binatang melata –sebagaimana instingnya- ia maju perlahan-lahan. Hari sudah gelap, kantin ini pun sudah sepi. Tak ada yang melihatnya, tapi ia tak mau dihantam lagi. Setelah melewati kursi-kursi yang kini kosong, tiba lah di tempat jajaran makanan dihidangkan. Namun kosong. Dilihatnya ada pintu belakang. Dengan masih sembunyi-sembunyi, perlahan ia masuki pintu. Di sana ada kompor yang sudah dingin, dan wajan di atasnya yang juga dingin. Ada piring-piring yang sudah bersih ditata rapi. Tapi matanya terbelalak ketika melihat ada piring yang diletakkan di bawah, lengkap dengan ikan tongkol harapannya. Bisa jadi ini adalah jebakan sebagaimana ketika ia sambangi perumahan tadi pikirnya. Takut-takut dengan perlahan ia semakin mendekat. Tak ada ancaman. Perlahan dilahapnya sedikit demi sedikit. Dikunyahnya tongkol harapan itu. Setiap kecapan dinikmatinya, dirasakannya badan yang sudah lebur kini mendapati hasil. Kini perutnya sudah berkembang, pun hatinya sudah lega. Dan malam ini ia pun tidur di tempat ini.

Kisah Trip Kereta yang Panjang

Yang pertama, saya ingin berterima kasih kepada temen saya, Afiqie yang sudah membuat mata saya sempurna terbuka. Haha. Entah zat apa yang membuat terbangun 2 jam sebelum rutinitas harian. Nyalain laptop lagi, terus buka medsos. Yang akhirnya bikin aku sadar ada notif nikahanmu, bro.

Tak sadar kau memang sudah selayaknya, sekaligus nyadarin kalau memang aku juga sudah tua. Haha. Kaget? Wajar. Karena lama tak komunikasi, etiba ngasih undangan. Seneng? sudah pasti. Akhirnya, bisa jalan-jalan lagi tengah penat status "mahasiswa akhir", ditambah ada makanan gratis di depan mata. Overall, aku jadi melek bener, bro.

Banyakan temen pasti pada kepikiran, "terus, aku kapan?" Haha. Seperti postingan dulu, jadwal keretamu berangkat duluan bro. Kereta hidup beda dengan kereta KAI atau Shinkansen, jadi aku santai saja ngadepin. Karena kereta kita udah ada jadwalnya sendiri-sendiri. Berarti keretamu lebih cepet dong? Haha. Karena beda tadi, jadi tak ada kata terlambat atau tepat waktu. Sebenarnya tepat waktu menurut jadwal dari pusat. Tapi, kitanya sendiri yang bingung sakarepe dewe nganggap kerete telat.

Selain itu, gak ada tujuannya. Tugasnya baru banyak. Kereta ini bakal dijadwalkan untuk singgah di beberapa tempat. Tugas kalian, adalah mengumpulkan tanda di tiket, bukti telah singgah di sana. Harus sepasang! Karena kalian menjalani trip bersama, dengan jadwal yang sama. Jadi, akan goyah jika yang menyelesaikan misi hanya satu orang. Pun, sama goyahnya ketika yang mendapatkan hikmah hanya seorang dari kalian. Kata "sepasang" bisa goyah di kalimat selanjutnya.

Pesanku, sebagai temen yang belum ngerasain. Hahaha. Jangan lupa koleksi sebanyak-banyaknya buah hikmah bersama-sama. Sebagai koleksi yang bakal kalian pamerkan ketika trip itu benar-benar berakhir. Dan inget, di dalam buah itu memiliki banyak rasa. Ada tangis, tawa, excited, bahagia, marah, sedih, beban, lega, yang lainnya mungkin masih banyak, aku saja yang belum ngerasain. :D Mungkin kalian bisa jadi lebih bijaksana ketika bisa mengolah perasaan itu tadi, tak langsung membuangnya.

Sekian salamku. Sebagaimana kebiasaan muslim kepada muslim, kudoakan kalian tumbuh bersama. Bertunas, berkembang, berbuah, lalu kokoh menjadi pohon sandaran ummat.

Barakallahu lakuma wa baraka 'alaikuma wa jama'a bainakuma fil khoir.

#MaBa 1 | O.S.P.E.K

Sedih sih ngeliat ritual tahunan ini. Selain itu, nyesel juga. Karena dulu pernah jadi panitia OSPEK. Kata orang OSPEK itu ajang mendidik mental mahasiswa, ajang meningkatkan kekebalan sikap mahasiswa, karena tak sama dengan masa SMA lagi.

Kalau menurutku ini hanya analisis sesaat saja, hipotesa kulitnya saja. Secara teori sesaat hal di atas bisa dipahami. Tapi jika ditelisik lebih mendalam, jauh pandang dari kata membangun mahasiswa. OSPEK yang hanya seminggu bisa buat mental mahasiswa lebih bagus? Ah, susah kayaknya. Kalau sebagai start up masih bisa.

Tapi, meskipun bisa dijadikan start up, metode pelaksanaannya masih belum pas. Teori mereka, ketika bentak-bentak mahasiswa baru, itu jadi ajang pendidikan. Bukannya hanya sebagai ajang testing?

Kalau mahasiswa sudah berani dari awal, mereka akan tegas, tak takut. Tapi, ada banyak mahasiswa yang sudah dididik patuh dan pekerja sedari dini. Respon mereka pasti akan menurut peraturan dari senior, bagaimanapun rupa peraturan itu. Kenapa? Karena mereka belum tahu, atau belum memasuki dunia di mana mereka bisa berkompromi dan berlogika dengan sikap orang lain.

Jikalau ingin menggembleng sikap mahasiswa baru. Wajibkan saja mereka untuk ikut organisasi atau lomba-lomba. Mental akan terbentuk sendiri dari sana. Dan kepastian itu sudah banyak teruji. Mereka akan segera berkembang pesat dengan hawa perlombaan, dengan hawa kerjasama.

PLN Jaya

Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan bercahaya.
(QS. AL FURQAAN:61)

Bisa jadi dengan ayat diatas saya berterima kasih sangat banyak pada PLN. Kita bisa jalan tanpa tersesat, bisa menikmati kisah romantis disepanjang jalan, menikmati ibadah yang nyaman. Semua akibat PLN kan? Sebab mereka mengalirkan listrik yang membuat banyak tanah bercahaya.

Jasamu sungguh besar, bapak-bapak petugas PLN.

Diary ke sekian

Ada satu sisi yang menyebutnya cinta, tapi ada akal yang menyangkal. Aku tak ingin memihak kemanapun. Aku masih 'banci', pemalu kelas unggul. Malu untuk menjalin hubungan serius. Menikah? ah kenapa masih jauh pandang. Ya aku jatuh cinta kepada salah satu perempuan yang baru saja kutemui, padahal baru saja bertemu masa sudah cinta? aku takut ini hanya sebatas kagum, atau malah nafsu menggubu.

Entah kenapa hatiku menyendu? inikah bayaran merindu?

Sedikit Doa Untuk Saudara | #BergerakUntukGaza

Inget kisah Roro Jonggrang? yang minta dibikinin 1000 candi, ketika kurang satu, dia gak nepatin janjinya. Kamu mikirin perasaan Bandung Bondowoso gak? sudah semalaman kerja keras, tapi dikhianati begitu saja di akhir cerita.

Ini ada kisah lain yang lebih heboh.

Ada seorang Putri Pemalu. Ia terluka di tengah jalan. Minta tolong, tapi tak ada yang menoleh. Untung ada pemuda yang bantu dia. Dibawalah Putri Pemalu itu ke klinik milik Pemuda yang baik hati.

Putri Pemalu ini tak punya tenaga dan uang untuk bepergian. Kepada Pemuda baik hati ini dia punya permintaan. Minta Pemuda tadi supaya bisa menampungnya selama sebulan. Jadi, ia harap, setelah sebulan bisa sehat kembali dan bisa bepergian lagi.

Lepas sebulan perempuan itu dirawat dengan baik, diberi fasilitas maksimal, dihormati privasinya, sampai putri itu kembali sehat.

Putri bahagia. Tapi, setelah sebulan di tempat tersebut dia berubah pikiran. Ketika pemuda itu pergi membeli perlengkapan klinik, Putri pemalu tadi menyiapkan jebakan untuk sang Pemuda saat balik.

Dijebak, dibius, dikurung di dalam gudang jadi nasib Pemuda pemilik utuh klinik tadi. Dulu dia mewah memiliki klinik yang megah, kini ‘kepemilikan’-nya hanya sebatas gudang kecil.

Sementara, sang Putri Pemalu bebas melakukan apapun dengan seluruh fasilitas klinik milik Pemuda tadi, bahkan jika ia masih ingin menguasai gudang, bisa dilakukan.
***

Bagaimana nasib Pemuda itu, Kawan? Lebih penting lagi, bagaimana sikap kita, Kawan? Jika kita sebenarnya ada di dalam cerita tersebut.

Palestina dulu memiliki tanah yang luas, kawan. Lalu datanglah bangsa Yahudi bermigrasi dari banyak daerah, salah satunya dari Uganda. Eksodus ke tanah Palestina. Menurut paham Zionisme, itulah tanah leluhur mereka yang harus mereka kuasai. Seperti yang bisa kalian lihat sekarang, mereka tak peduli dengan hak kemerdekaan bangsa Palestina. Pemerintahan Israel memulai konflik Palestina dengan senjata dan modal perang yang begitu besar, entah dari mana saja asalnya, sehingga banyak sekali direbut tanah Palestina. Tujuan mereka adalah mendirikan negara berdasar ras Yahudi sendiri, meski sebagian orang Yahudi tak setuju dengan konsep ini. Darah rakyat Palestina bukan jadi halangan, parahnya lagi pihak Internasional lebih banyak diam dengan genosida-genosida Israel tersebut. 20 tahun sudah Palestina melakukan perundingan dan perjanjian dengan Israel, selama itu pula Israel berkhianat. Menjadikan perjanjian-perjanjian sebagai batu pijakan untuk menguasai tanah-tanah Palestina. Setelah melakukan genosida dengan berbagai dalih, mereka melakukan perundingan yang tidak sesuai kondisi awal, yaitu mengklaim tanah Palestina ke dalam tanah mereka. Coba kalian lihat di peta maupun atlas dunia, sudah tak ada lagi nama Palestina di sana. Setelah perundingan damai selesai, tidak lama pasti mereka melakukan pengkhianatan kembali. Begitu berlanjut sampai sekarang. Seperti anak kecil yang merengek tanpa henti meminta susu pada dunia Internasional.

Berikut adalah perkembangan penjajahan atas tanah Palestina dari 1946-2000. Tahun ini yang menjadi milik Palestina utuh hanyalah Gaza sampai beberapa ratus meter tepian pantai. Dan jangan kira kebebasan mereka di Gaza seperti di Indonesia. Selain tembok besar dan tembok berduri, mereka juga selalu diawasi oleh moncong-moncong senjata yang siap melepaskan peluru. Tak peduli umur maupun gender.





Mari #BergerakUntukGaza. Memberikan waktu untuk hati kita berbicara. Atau setidaknya menyisihkan sedikit pikiran kita untuk berdoa bagi kemerdekaan seluruh ras umat dunia, terkhusus Rakyat Merdeka Palestina.

Sejenak Mengenang #KampusFiksi

Jogja, 24-25 Mei 2014.
Kampus Fiksi adalah salah satu pelatihan menulis yang diadain sama Divapress. Sudah setahun berjalan dengan ratusan alumnus. Dan aku masuk di angkatan 8, nomor member 204. Yeay! Acara ini gratis, mamen. Tapi jangan kira, acara berasa mahal banget.

Selain excited, bakal dapet pelajaran baru tentang kepenulisan, ini juga jadi pengalaman pertamaku naik kereta. Lebay ya? buahaha. Pertemuan pertamaku dengan kereta, membuatku langsung jatuh cinta. Berpindah dari penggemar travel dan bus. Jika naik mobil atau bus pasti pusing akhirnya, apalagi jarak jauh. Beda dengan kereta, kita seperti duduk-duduk di rumah. Eh, tiba-tiba udah nyampek. Manajemen dan fasilitasnya lebih bagus. Jadi bisa nyelesein banyak aktivitas di dalam kereta.

Walaupun fasilitas asyik, pengalaman pertama ini buruk. Iya sih, duduk samping cewek cantik, tapi dia lagi pakek headset. Haduuuuh.... Jadilah situasi awkward jadi tema perjalanan itu. Untung saja di stasiun berikutnya ada penyelamat. Seorang ibu yang nganter anaknya daftar ulang di jogja. Lebih untungnya lagi, itu anak juga cewek. Muehehe. You save me, Mam. :))

Nonton Mahabarata paksaan para cewek
Mari kita mulai kisah pelatihan ini dari hari pertama yang melelahkan. Lelah karena sepi, capek karena mulai dari datang sampai malam diisi tidur melulu. Hari kebangkitan dimulai di hari kedua. Ya karena sudah kumpul, juga sudah masuk materi. Sebenernya sih materinya hampir sama seperti di beberapa buku-buku teori yang ada. Tapi bukankah sesuatu akan lebih menancap jika digabungkan dengan kenangan. Di sini tercipta reaksi itu. Aku punya keluarga baru yang saling mendukung untuk hobi atau karier kita. Dan tak lupa, selalu terjadi di Kampus Fiksi sebelum-sebelumnya, cinlok!!!

Hari terakhir. Ini yang paling mantap menurutku. Tahukah kamu seluk beluk di penerbitan, trik-trik tersembunyi nan licik di dunia penerbitan? Semua dijabarin di sini. Tapi karena kata bang Acoy ini rahasia, jadi saya diam dulu ya. Nanti deh kalau aku udah lupa kalau itu rahasia, ya.... Paling di note selanjutnya. Muahaha

Setelah materi itu kita ditantang nulis selama 3 jam. Di sini kita bisa tahu apa hasil belajar kita sebelumnya. Kita bakal tahu semua teknik itu penting dalam menulis, agar tulisannya bikin panas dingin pembaca. Aku tahu kalau yang dikatakan Pak Edi bahwa writing blok itu gak ada. Buktinya aku lancar nulis, karena dibantu outline dan buku bacaan yang ada di sana. Saya puas, meski tulisan masih amburadul. Kalau gak salah yang masuk standar tulisannya Mbak Muam sama Mbak Maya. Maksudnya tulisan mereka berdua yang masuk standar bagus dari semua peserta #KF8. Give applause!!!
Dua rius nulis. Mbak Maya yang orange Mbak Muam yang pink (mojok dewe itu :v)
Terakhir. Ritual rutin setiap Kampus Fiksi. rame-ramean di rumah Pak Edi. Foya-foya mborong nasi kucing, bikin drama yang sayang gak jadi, dan obrolan yang akan selalu penting sebagai kenangan.
Sesepuh Kampus Fiksi & Divapress
 Selain keluarga, ada beberapa pesan yang sangat membekas sampai sekarang dari pertemuan singkat itu. Pertama, tentang State of Mind, jelasnya pemikiran yang matang penulis. Menulis di buku yang dijual di toko buku jelas beda kan dengan menulis di diary. Harus ada bobot yang lebih berat di sana, ada pesan yang di dapat oleh banyak pembaca. Maka dari itu penting sekali bagi penulis mempunyai pemikiran yang matang, mempunyai konsep berfikir yang luas. Kedua, “Jangan sombong ya kalau udah terkenal, udah sukses di bidang apapun. Mari bantu banyak orang yang butuh bantuan kita.” Ketiga, pesan yang paling asyik, “Kalau kita ketemu lagi, tuker-tukeran buku kita yuk?”

Ini baru main event XD

Momo! (Modulus Monumeter)

Aku ingin berbicang sejenak tentang pengalamanku mendapat 'jabatan' baru. Bukan presiden bukan pula ketua rohis. Melainkan panggilan yang menggelikan ini. Momo! Yap itu panggilanku saat ini -_- bukan singkatan sok saintis di atas, Modulus Monumeter? Hahaha, apa itu?

Ketika dihadapkan dengan nama Momo apakah yang kalian bayangkan? Momogi? Momotaro? Momo-chan? atau sempat pikiran kalian menangkap sosok perempuan unyu? kucing yang seperti di film Aang? Haha. Berarti kalian normal seperti teman-temanku yang lain. Yang suka dengan materi bullying ini. (Harus lapor kak Seto nih. Aku kan masih muda.)

Padahal nama pemberian orang tua itu bagus banget loh bro artinya. Muchtar, yang terpilih. Tapi kini malah jadi seperti di atas. Sejarah nama ini sebenarnya cukup singkat. Bermula dari sebuah kepanitian ospek kampus. Di satu divisi yang berisi orang-orang yang 'berbahaya'. Adalah satu orang yang berusaha akrab dengan semuanya. Sehingga muncullah sisi kewanitaannya untuk memanggil masing-masing dengan panggilan yang akrab -menurutnya. Mulai dari Uncen, Tika, Kepala suku yang dipanggil Ayah, ada juga yang dipanggil ibu. -_-a. Dan pada akhirnya bermetafosalah namaku -Muchtar-Mu-Mo-Momo. Amazing kan?

Sebenernya aku tak masalah saat itu. Toh cuma buat seru-seruan aja.

Tapi ternyata negara api masih mengkudeta. Memperluas jaringannya. Bekerjasama dengan berbagai instansi. Menyebarkan fahamnya. Ini penjajahan!!!!

Yah... mulai dari situ yaitu tahun 2011 virus yang hanya berawal dari satu area yang sangat kecil, tersembunyi. Tak akan tampak sama sekali oleh Dekan. Sekarang berkembang ke berbagai organisasi yang aku ikuti. Mewabah kemana-mana. Bahkan dosen juga banyak yang manggil Momo. Oh meeen. Dan kini hal itu sudah seperti branding-ku. Muchtar siapa sih? itu loh Momo. Oh bilang aja Momo gitu.

Di akhir curhatan ini aku hanya ingin berpesan sodara-sodara. Pakailah masker agar anda tidak terkena virus yang merajalela. Atau cukup jaga kekebalan tubuh dengan makan sehat dan olahraga. Waspadalah!


Sejenak Merenung, Apa Cita-cita Itu?

Aku hanya ingin berbincang dengan teman imajiku, berdiskusi sejenak tentang seperti apakah aku nantinya? tahun depan, dua tahun lagi? lima tahun kemudian? atau mungkin setelah sepuluh tahun berselang.

Dulu aku pernah menuliskan banyak cita-cita. Tentu yang melangit seperti kuliah di MIT, mendirikan sebuah yayasan sosial dengan basis yang besar. Mungkin tak terlalu melangit bagi mereka yang sudah punya uang untuk itu, ah lagi-lagi uang. Bagi Edi Baskoro mungkin hal ini hanyalah masalah sepele. Dan itu mungkin juga jadi hal yang sepele bagiku nanti ketika aku sudah melewati tingkat itu.

Yah seperti sekarang ini, bagi yang telah memasuki semester akhir di universitas2 ternama di Indonesia akan menyepelekan status sebagai mahasiswa. Ketika mendengar kata lulusan universitas bla bla bla... reaksiku biasa saja. Beda dengan dahulu ketika masih SMA. Lalu diterima masuk universitas. Serasa kita sudah bisa menggenggam dunia.

Aku berfikir apakah cita-cita kita yang kita tulis itu hanya sebatas agar kita bisa mencoretnya, lalu menambahkan dengan cita-cita baru? Aku yakin hidup ini selalu memiliki nilai dan hikmah yang tak terbatas di setiap inchi-nya. Begitu pula dengan cita-cita. Tak mungkin hanya berguna ketika kita belum mendapatkannya. Harusnya hikmah itu kekal.

Kalau hanya sebagai ajang pamer dan pemuas diri. Rasanya dangkal banget. Err... setiap aku berfikir dan menemukan jalan buntu. Aku selalu berkesimpulan secara general dahulu. Bahwa apapun itu, pasti mempunyai hikmah serta nilai. Dan nilai itu selalu mendekatkan kita kepada Sang Pencipta.

Aku tak ingin membahas bahwa aku harus bisa melaksanakan semua cita-citaku. Karena aku yakin pasti akan mendapatkannya. Hanya dengan waktu, tempat, metode, serta detail kejadian yang mungkin berbeda dengan yang ada di pikiran. Namun itulah jalan Tuhan. Sekarang setiap aku bermimpi, aku hanya melanjutkannya dalam doa. Lalu menenangkannya dalam kehidupan. Ini hanya dunia kecil. Ada waktu kita berlari kencang, ada saatnya kita meredam itu semua, istirahat sejenak, serta merenungkannya.

Sudah Siapkah?

[Sesi Curcol] Hahaha

Tulisan ini juga sebagai arsip dari Sekolah Pernikahan. Yah dibilang curcol emang curcol. Hahaha.
* * * * *

Dulu ketika awal kuliah sudah berkeinginan menikah, bahkan sampai merancang master plannya. Tapi sampai sekarang Tuhan menakdirkan hal yang lain. Ya memang masih sekedar planning saja, belum beranjak ke pelaksanaan. Hahaha. Sebagaimana resolusi-resolusi awal tahun yang di akhir tahun hanya jadi lembar revisi untuk tahun selanjutnya. It's horrible.

Aku jadi berpikir aku belum siap menjadi suami. Menjadi ayah. Bukankah Tuhan selalu memberi amanah sesuai dengan kualitas hamba-Nya? Dan sekarang Tuhan belum memberikan amanah itu. Seburuk itukah aku? Sampai-sampai Tuhan saja belum mempercayai amanah itu. Memang amanah itu salah satu amanah yang sangat berat (mitsaqan ghaliza). Dan dihitung menyamai separuh agama. Bayangkan sodara-sodara ibadahmu sebanyak dan sekhusyuk apapun itu masih belum mencapai separuhnya. :D Tapi... tapi walaupun begitu sudah banyak kerabat yang menikah, yang berhasil menyempurnakan separuh agamanya, memasuki ranah baru dimana ibadahnya berlipat-lipat. Hmm...

Aku jadi tersenyum sendiri ketika mengungkapkan kata-kata itu ke cermin. Menjadi seorang suami, seorang ayah. Sementara ibadah saja masih dalam taraf wajib, yang sunnah ya kalau sempat, itupun masih belum sekhusyuk bapak-bapak yang sadar sudah mendekati ajal. Ah oya aku sampai lupa tentang penghasilan. Boro-boro mikir rumah, kontrakan saja masih dari orang tua. Penghasilan sih ada, tapi ya sekedar ada. Cuma cukup buat jajan. Maklum freelance, bahasa kerennya dari serabutan. Dan jangan coba-coba tanyakan perihal pengetahuan agama atau keluarga.

Dan setiap kutanyakan kembali pertanyaan ini rasanya seperti dipukul gada baja di dada. Sudah siapkah kamu jadi Suami? perisai bagi bidadarimu. Siapkah jadi ayah? tembok kokoh keluargamu. Sudah siap? Rasanya sakit bercampur malu. Umur sudah mendekati 23, tapi... ah sudahlah.

Setiap malam selalu kutanyakan dua pertanyaan itu. Sudah siapkah menjadi seorang suami. Setiap pagi bangun lebih awal, membangunkan istri. Membersihkan halaman, bersiap kerja. Bercengkerama kepada tetangga setiap hari yang sungguh harus meninggalkan ego pribadi, ego masa muda. Juga termasuk menghadiri acara-acara lingkungan yang sering itu membosankan. Menafkahi anak orang lain. Bukan sekedar mikir nanti mau jajan di mana, tapi sudah mikir nanti, esok, lusa apa yang bisa dihidangkan di dapur keluarga. Menjadi sahabat seumur hidup seorang yang mungkin selalu naik turun emosinya. Merangkap pula ayah baginya.

Sudah siapkah aku menjadi seorang ayah? Yang selalu stand by 24 jam dalam pikiran di mana pun saat itu berada. Sedang kerja atau istirahat harus siap siaga kala bayi butuh. Apalagi ketika masih dalam kandungan. Menjadi konsultan psikolog-nya setiap hari. Membantunya wira-wiri cek kesehatan. Bersiap tengah malam disuruh nyari bakso di stasiun. Siap siaga pula mendampingi kelahiran istri (yang ini aku gak tahu apa aja yang harus dilakuin, dan katanya cukup ribet. :D). Lalu mulai mendidiknya di rumah, tentunya dengan sikap kita. Mencarikan sekolah yang baik, memberikan asupan gizi yang baik, membinanya dengan pengetahuan islami sampai dia siap menjadi pilot sendiri bagi hidupnya.

Aku belum berpengalaman dalam itu semua, jadi aku belum bisa kasih wejangan apapun, malah aku minta wejangan dari para senior-senior di sini. :D
Maka dari itu hanya ingin bertanya, sudah siapkah?

Statusku? Sedang Memperbaiki Diri

Dulu saya sempat nulis, err... tepatnya curcol di sini. Saya posting di sini niatnya cuma ingin biar gak ilang aja sih. Takut nanti di sono entah kapan bisa ilang. Bukan maksud bilang kalo servernya ecek-ecek. XD

Walaupun susah dijalani tapi begini ceritanya.
- - - - -

Tau gak sih kita para jomblo ini sering meratap, entah di social media atau hanya pada Allah. Mengungkit-ngungkit sesuatu yang menandakan betapa sakitnya kitam betapa sedihnya kita. Stop it!! Kita itu bukan jomblo murahan yang sering mengumbar masalah dimana-mana, yang sering curhat kapan menikah dimana-mana.
Stop it!!! >.< Bukankah dulu sebelum kita dewasa setiap hari setiap pagi selalu berangkat sekolah paling semangat. Lalu sepulangnya paling pertama datang bermain di luar. Tak peduli omongan orang tua untuk makan dulu, untuk bobok dulu, atau sekedar berganti baju dulu (semua kayak gini juga gak ya? haha)
Nah kenapa ketika kita dewasa kita lupa akan semangat itu? Semangat untuk selalu berkarya kalau bisa dibilang. Kita ini JOMBLO MULIA kata pak @ajobendri. Jomblo yang berbahagia dengan kehidupan jomblonya sekarang. Maka teruslah berkarya, lupakan sejenak tentang jodoh yang menggalaukan itu. Mulailah perbaiki diri. Baca-baca referensi tentang agama, keluarga, dan buatlah karya sesuai minatmu. Lantas kau tak akan mengira akan segera menikah minggu depannya mungkin ketika kau memang benar-benar siap melangsungkannya. Siap secara fisik dan mental.
Daripada kau menggalaukan diri di socmed, bahkan dalam sehari-hari. Hanya akan membuka lebih dalam lagi luka yang sudah kau buat menganga. Ia kita memang sedang jomblo, lalu sadarlah bahwa kita adalah JOMBLO MULIA idaman bangsa.... Yeayyy \('O')/

- - - - -

Ya berat memang kalo dijalani dengan status jomblo dan juga pikiran jomblo. Hahaha. Cobalah berpikiran luas, karena memang dunia ini sangat luas. Dunia nyata saja kau belum bisa menjelajahi seluruhnya dengan seluruh umurmu, apalagi ditambah dunia yang lain. Take a deep breath... and let your mind fly away.

QUOTE

Jika cita-citamu tinggi, sepantasnya jam terbangmu kelas langit. Lalu, tak sungkan istirahatmu sedikit

Semua Pantas Bahagia


Kemaren sekitar seminggu yang lalu aku datang di acara rutin FLP Malang (bedah karya plus jualan) dengan suasana banjir, eh maksud aku suram, yang banjir di Jakarta. Apalagi belum tidur dari kemarennya, yaitu sabtu. Nah tak jelasin dulu ya aku gak tidur itu hari sabtu dari jam empat pagi sampek empat lagi, jam empat setelahnya itu hari apa coba? Minggu? pinteerr... LOL.


Sebentar-sebentar kita akan serius karena ini akan membahas hal yang serius terkait masa depan hidup *benerin sarung*. Sebelumnya sudah janji mau ketemu Pak Dian buat #sefting dan buku buat jualan tak bawa jadi ya terpaksa datang deh, kasian ya aku? hahaha. Dan gak jadi sharing materi. :p Oke kita langsung saja daripada kalian ngamuk dan ngelemparin aku lewat layar yang notabene ngerusak layar kalian sendiri.

Dimulai dari latar belakang atau kondisi sebelum #sefting yang amburadul. Dimulai dari tugas yang tak kunjung selesai padahal deadline semua tugas tinggal 3 hari sampai seminggu. Tidur semakin jarang yang bukan gegara tugas. Banyak waktu terbuang karena tidur, itu sih udah keseringan. LOL.

#1
Oke sekarang kita masuk ke step #sefting. Pertama mari kita bertemu dengan masalah. Kita telusuri jalan sampai bertemu alamat masalah itu sedang berada. Misal aku kemaren kenapa serasa malas ngapa-ngapain, serasa penuh di otak. Sampai seminggu itu aku selalu marah sama orang yang bicara sama aku, entah siapapun itu. Pun aku malas bicara sama orang lain, sedeket apapun dia. Dan ternyata salah satu penyebabnya karena sebel dengan temen kelompok yang gak tanggung jawab. Ceritanya kita ada tugas kelompok, tapi dia gak ada kerja sama sekali. Bagian dia pun hanya copy paste dari internet. Dan yang lebih parahnya lagi dia ngejar-ngejar apa tugas kelompoknya udah selesai? How terrible he is. :|

#2
Ketemu kan alamat si masalah? Sekarang kita fikirkan kembali apakah itu benar masalah? atau fikiran kita saja yang bermasalah? atau bahkan itu sudah menjadi salah satu sikap kita? Kalau memang benar masalah. Mari kita akui bahwa itu masalah kita, bahwa kita juga punya masalah. Bukan superior. Dan hal ini biasanya yang sulit. Jujur bahwa kita juga lemah, punya permasalahan, dan tak bisa sendirian menghadapinya.

#3
Langkah ketiga adalah fase merubah mindset. Kalau aku di masalah di atas cukup pada fikiran saja yang bermasalah. Apakah kita bisa maksa si 'pembuat masalah' tadi menjadi orang yang rajin, yang aktif mengerjakan bagiannya di kelompok? Tak bisa! yang bisa dirubah hanyalah diri kita sendiri. Apakah jika kita mengerjakan tugas itu sendirian menguntungkan dia merugikan kita? Yang pasti dia tak akan mendapat pengalaman belajar yang sangat berharga, dan pastinya kita akan lebih kuat lagi karena mengerjakan tugas lebih banyak yang berarti berlatih lebih banyak.

Waktu itu Pak Dian suruh aku bayangin peristiwa di mana aku mengerjakan tugas yang hasilnya sangat memuaskan. Aku ingat-ingat dan aku rasakan kembali bagaimana perasaan saat itu. Amazing! Sambil terus membayangkan Pak Dian menekan bahuku dengan ujung jari-jarinya yang dibentuk seperti ketika makan nasi sesendok pakai tangan. Ditekan keras oleh Pak Dian sampai aku bisa merasakan ada sesuatu di sudut bawah belakang kanan otakku. Semacam ada yang masuk dan rasanya seperti ketika mendapat ilmu baru yang berharga bagi kita. Diulang terus menerus sampai perasaan itu terlihat nyata. Waktu itu perasaanku sudah sedikit lega. Semacam rumput taman yang tinggi dipangkas satu-satu. Lengang dan lega.

Oya sebelumnya dijabarkan dulu masalahnya apa saja secara terperinci, tapi cukup di hati dan fikiran saja. Misal aku punya masalah di tugas kampus. Ada lima mata kuliah yang harus di selesaikan. Di buat prioritas lalu dibayangkan proses pengerjaannya di kepala satu persatu sambil diterapi seperti tadi, yang hasilnya aku tahu apa yang aku lakukan pada tugas itu secara detail. A B C D E... 1..2..3..4 langkah yang sudah ada dikepala secara rinci siap kukerjakan sendiri. Dan... aku siap mengerjakan tugas.

Untuk level sepertiku mungkin cukup seperti itu. Ada pula yang lebih mendalam terapinya dan suasananya emm... "nangis-haru-mencekam-marah-undefined".

Judulnya dari tadi belum disentuh ya? Hahaha. Maka berbahagialah dengan tulisanku yang tak tentu arah ini. LOL

Karya yang Menyejukkan

Barusan baca chirpstory dari temen. Keren gitu note-nya. Pas baca itu serasa ada bintik-bintik di dada yang dicabut. Adeemm... :) Ini linknya "MENJADI #JULIA (JOMBLO MULIA)". Kalau yang udah nikah sih paling cuma senyum-senyum aja. Tapi bagi penulis seperti aku yang terlalu mendalami perasaan, (Eciee penulis. Wkwkwk) hal di atas sungguh menyejukkan hati.

Selepas baca note Mas Ajo, aku jadi terinspirasi, atau lebih tepatnya menemukan jati diriku. Menulis sesuatu yang mencerahkan itu lebih nikmat dan menentramkan. Kenapa aku bilang seperti ini? Karena sebelumnya cerpen maupun puisi buatanku pasti berkutik ke hal kesedihan yang menyayat. Sampai-sampai aku sendiri malas untuk membacanya terus menerus. Wuahaha

Okelah mari kita coba mempraktekkannya. Sekarang kucoba mencoba berkelakar seperti biasanya.

Kau tahu bagaimana malam menemaniku? Dia putarkan lagu senyap kerinduan di setiap rerumputan, dia gambarkan wajahmu menjelma terang rembulan, dia belaikan tubuhku dengan semilir kedinginan.
Hmm hmm hmm... sakit gak sih ngerasainnya? Terutama buat pasangan LDR. #nyess. Dan sebagai pembanding...
Beribu mata rerumputan menemaniku mengeja malam. Tak adanya kau bukan tercerabutnya selaksa hatiku. Namun tumbuhnya kekuatanku dalam kemandirian. Dia hidangkan bulir-bulir Illahi pelipur lara. Disajikan bersama malaikat tengah malam, membuat rinduku padamu tak semenyakitkan adanya. Hatiku melembut susu bersama setiap detikku... membersihkannya.
Bagaimana? sama aja ya? wkwkwk. Namanya lagi belajar beralih membuat sesuatu yang menyejukkan. Paling tidak sudah mencoba. Dan nanti pasti benar-benar menyejukkan, walaupun bukan hari ini atau bulan depan. :)


 

Copyright © Mahya. All rights reserved. Template by CB Blogger & Templateism.com