Terbang

   Undangan ada di tangan, pink beramu biru muda. Pertama pandang, sungguh megah adanya. Tapi, pandangan pertama memang sering menipu, wajah sering beda sekali dengan hati. Wajah lipatan itu memang cantik, aku terpesona. Tapi, isinya malah membuatku terpaku. Apa benar yang kulihat, Dib? Yang tertera itu? Namamu.... Aku mungkin seperti memegang bara api, membakar tanganku, mengacak otak, dan yang paling parah, panas itu menembus ulu hati. Hancur.... Kau tak sedang jahil padaku kan, Dib? 
   Aku lelah. Akankah seperti ini akhirnya? Kuletakkan surat itu di atas tumpukan buku yang mulai menggunung. Aku tersenyum sinis. Sejak kapan aku suka baca buku? Tapi, lihatlah Dib! Jika kau ingin ke perpustakaan, kau cukup ke rumahku. Berjejer rapi novel, buku psikologi, motivasi, sampai buku agama. Belum semua kubaca. Yang sudah kubaca pun itu kupaksa. Agar aku tak terlalu banyak berkata “oh...” di depanmu. Lebih cair.
   Apa ini salahmu...? Ini salahku yang terlalu dalam mencintai.
   ***
   Pernah kau berlibur ke Lombok. Lalu dengan nada mengejek, kau pamerkan kemolekan pantai sana, bersih, sepi, luas, bagai surga tersembunyi, tak lupa kau singgung Rinjani. Mana ada yang tak iri? Apalagi itu dari mulutmu. Sejak kata ejekan pertamamu saja, aku sudah membayangkan berada di sana bersamamu. Tapi kau tak peka. Aku sebal. Terlebih ketika kau kata sedang menikmati plecing kangkung tepat di bibir pantai. Kalau ada kata di atas sebal, pasti sudah aku pakai. Tapi aku senang bisa berbincang denganmu, meski dalam bahasa ejekan.
   Keesokannya aku menelepon Faris, sahabat kita, yang kini jadi chef di hotel besar. Aku ingin membalas ejekanmu. Kalau ternyata aku juga bisa merasakan plecing kangkung di sini, lebih enak bahkan. Dan impianku bersambut gayung dengan senyum optimis Faris, Dia paham masakan itu.
   Lusa, datanglah Faris lengkap dengan bahannya. Mendikte apa saja yang harus aku lakukan. Memotong sayur, mencampur bumbu, menumbuknya, Faris selalu mengawasiku. Tapi, diriku malah seperti anak kecil yang sedang membantu mamanya memasak, merusak segalanya.
   “Hah! Ribet sekali sih, Ris? Tak ada bumbu instannya apa?” Ngambek. Kulempar badan ke sofa. Putus asa.
   Faris tertawa renyah. Membuatku makin sebal. Tapi dia melanjutkan hasil masakanku yang kacau balau. Mungkin dia memulai dari awal, karena memang hancur sekali buatanku. Kutengok dari balik sofa, serius sekali wajahnya. Coba kau bisa bercanda sedikit, Ris, pasti banyak yang tergila-gila padamu.
   ***
   Kusapa gunung seberang yang tampak samar, sebatas siluet hitam berselimut kabut. Kusisir puncaknya melewati rimbun yang terlihat hijau samar. Setelah ini mungkin aku akan membenci pagi. Sungguh jahatnya dia pagi ini, membawa aroma kelam nan dingin menembus hati. Tak hanya kulitku yang ditusuk-tusuk dingin. Hatiku sudah babak belur. Aku termangu setengah jam tanpa tanda hidup, mematung. Ah, mataku sembab.
   Aku masih terduduk lesu di depan teras. Membiarkan matahari perlahan menyapa mata, badan yang semakil kecil, menuju kaki. Ada telepon dari Faris. Dia mencariku yang tak muncul juga. Aku lupa. Bergegas kusiapkan semua, lalu berangkat. Di depan cermin, kupatut-patutkan diri, terutama wajah ini. Wajah bahagia wajib kupakai hari ini, hari spesial sahabatku.
   ***
   Faris melambai-lambai, tersenyum lebar memanggilku. Walau di tengah kerumunan, siapa tak akan cepat mengenali orang dengan kepala plontos mengkilap? Segera berjalan ke arahku, lengkap dengan mulutnya yang tak berhenti mengunyah.
   Aku takjub dengan konsep acara ini. Taman, barbeque, iringan akustik. Tak ada lagi rutinitas kaku di sini. Terbebas sudah dari gaun Jawa, jejeran tenda, maupun menu yang selalu seragam di semua tempat. Tapi, tetap saja hawa di sini membuat iri. Melihat orang bersalaman, mengikrarkan janji. Lalu, di sisi lain ada sahabatku menunggu. Tegang. Hingga kata itu akhirnya di ucap bersama-sama. Bahagia? Lega? Kata-kata itu masih jauh sebagai penjelasan dibanding melihat wajah mereka secara langsung.
   “Kau, bagaimana, Nad?” Dari samping Faris tiba-tiba bertanya.
   Aku menoleh dengan wajah merah. Sebal. Jangan bilang dia ingin mengeluarkan pertanyaan rutin tiap hajatan ini. Sampai dia bilang. Aku akan langsung pergi, ke belakang mungkin pilihan yang bagus. Capek menanggapi pertanyaan yang tak perlu jawaban seperti itu.
   “Setelah ini kau mau ke mana, Nad?”
   Gelagapan. Salah tingkah. Berarti tadi dia tak bermaksud tanya kapan giliranku menikah? Ah, Tuhan..., cepat emosi sekali aku sekarang ini. “Eh, kalau kau?”
   Toronto bukan tempat yang dekat, dan Faris pernah bicara kalau dia ingin meneruskan belajarnya. Menyebut, bahwa di sana ada orang yang ingin sekali ditemuinya untuk berguru. Tahun ini kesempatan itu datang.
   “Menurutmu bagaimana, Nad?”
   “Maksudmu apa, Ris? Kenapa harus tanya aku? Bukankah itu cita-citamu sejak lama? Kalau tak kau kejar sekarang, bisa jadi kau tak akan pernah bisa mengejarnya. Matahari hanya akan muncul waktu pagi.”
   Dia hanya tersenyum. “Terima kasih, ya, Nad.”
   “Mungkin aku juga harus mengikutimu, Ris. Berkutat di kota ini begitu lamanya, membuatku semakin sesak. Sudah saatnya aku mengepakkan sayap lagi.”

About the Author

muchtarps

Author & Editor

Mobile developer muda. Kadang berubah menjadi batman pada malam hari. Siang harinya berubah juga kalau lagi mood. Bekerja di bawah naungan bos dermawan dan rendah hati. Yaitu saya sendiri.

0 comments:

Post a Comment



 

Copyright © Mahya. All rights reserved. Template by CB Blogger & Templateism.com