Gadis Bermata Sayu



Seseorang berwajah putih, bermata sayu, dengan jilbab ungu yang membuatku seperti ini. Bangun lepas subuh, mandi dengan air beku malang, lalu duduk manis tepat depan perpustakaan kampus yang belum buka. Hanya berteman bangku-bangku besi yang berjajar panjang. Aku duduk paling ujung, agar pandanganku luas. Tak ingin kehilangan kesempatan menemui gadis bermata sayu itu.
Lepas satu jam. Mata sayu itu belum tampak. Beberapa mahasiswa mulai ramai. Memarkir sembarang kendaraan mereka di sisi jalan. Yah, kampus ini memang kekurangan lahan, atau kelebihan orang? Haha. Mereka terburu-buru sampai terbirit-birit. Sepertinya mereka bangun kesiangan.
Tiga jam kuhabiskan dengan duduk. Hampir seluruh tempat duduk penuh. Tapi mata sayu itu masih belum terlihat. Kuedar pandang ke kerumunan mahasiswa di kolam belakangku. Bukan. Kulempar jauh pandang sampai seberang. Tch. Hanya satpam yang sibuk dengan kopi dan ketawa.
“Permisi mas...”
Mataku berbinar. Kutengok langsung ke belakang. Aku ingin segera menyap... Ah sayang sekali. Kukira gadis bermata sayu itu. Ternyata hanya mahasiswi yang ingin menggunakan colokan di sampingku. Dugaanku dia anak baru, dilihat dari wajah SMA-nya.
“Iya, silahkan.”
Banyak orang lalu lalang. Lalu lintas mulai padat merayap. Ini tandanya sudah siang. Aku pulang. Sekarang giliran jaga warnet. Hari ini mungkin cukup. Yah, semoga esok ada hasil.
Lima hari sudah rutinitas ini kujalani. Bosan mendera. Belum juga berhasil kutemui gadis bermata sayu itu. Sejak pertama bertemu dengannya tanganku berubah jadi batu. Kaku. Selalu ada yang kurang dari lukisanku. Dan salah satunya adalah lukisan gadis itu.
***
Ini berawal lima hari sebelumnya. Di acara ulang tahun kampus. Mereka mengadakan lomba lukis sebagai salah satu acara parade seminggu penuh. Ini hal baru di sini, karena sebelumnya hanya di isi konser. Paling-paling hanya satu dua yang menarik. Salah satunya wayang kulit. Tapi sekarang mereka berpihak padaku. Selain wayang kulit, mereka mengadakan lomba lukis. Membuatku semakin bergairah datang ke kampus.
Tapi saat hari H, di mana semua peserta di uji untuk melukiskan kampus dalam waktu delapan jam. Membuatku kelabakan. Deadline. Yah, deadline itu musuh besarku. Kepalaku buntu ketika harus dibatasi. Baik waktu maupun tema.

Bro, ketika denger UB. Yang kau pikirin apa?

Kukirim pesan ke temanku.

Macet lah.

“Hmm, macet ya? Okelah....”
Kuarahkan kuas pada kanvas. Kuarahkan pula mata mengikuti kuas. Tapi tunggu... di balik kanvas. Kau pernah saat kecil. Dipaksa ikut acara nikah. Dipaksa menyalami orang tua yang tak kau kenal. Hanya untuk basa-basi. Lalu kau melihat pojok souvenir. Ada boneka adat di sana. Tak lama kemudian kau asyik dengan boneka adat di duniamu sendiri. Itu yang kualami sekarang kawan. Mataku tertawan. Ada sosok yang melukis senyum di wajahku. Menawan mataku hingga tak ingin berpindah haluan darinya. Namun mengubah seluruh haluan kepadanya, termasuk lukisanku. Aku melukisnya, kawan.
Kumulai dengan sungging senyumnya yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup. Menghias senyum teduhnya, kulengkapi dengan paras sendunya. Aku tersenyum. Dan satu yang paling aku idamkan dari lukisan itu. Mata sayunya. Ya tatapan sayu itu telah menawan hati. Tetapi lepas delapan jam hanya wajahnya saja yang kulukis. Pun tanpa pewarna yang lengkap. Wajahnya saja tak pernah selesai kugambarkan, selalu ada yang kurang. Apalagi menghiasi keseluruhan menjadi karya yang utuh. Kuserahkan saja lukisan itu ke dewan juri.
Biarlah lukisan itu tak selesai. Kini ada yang nyata di depan mata.
“Ada apa di balik temaram lampu jalan?” malam itu aku pun memberanikan bertukar sapa. Mengulur salam.
“Oh, maaf... lukisanku ya?” Ia kaget.
“Yap... apa ada kenangan dengan yang dahulu?” Oke... langkah pertama.
“Karena kita baru menilai sesuatu ketika adanya mulai terbatas. Termasuk cahaya.” Wajahnya mulai serius.
“Tepat. Seperti seorang berparas sendu di tengah kesangaran para lelaki. Haha”
Pembicaraan kami mulai larut. Apalagi ketika mata saling berpapasan. Tapi sayang, sift jaga menutup pertemuan itu. Aku pulang, tapi ada yang tertinggal.
Dan itulah yang kucari sampai sekarang.
***
Itulah yang kucari sampai hari kelimabelas. Tapi belum juga kutemukan gadis bermata sayu itu. Bahkan namanya pun aku lupa memintanya. Penat. Apa ini hanya pemanis semata? Seperti sedia kala? Yah, lebih baik kuterbangkan angan yang tak sampai itu. Biar saja angin mengemasnya ke dalam sebentuk kenangan. Salah satu angin itu adalah berlibur.
Berlibur bersama kawan sepermainan menjadi rutinitasku. Setidaknya sebulan sekali. Berhubung budget kita tipis, jadilah Alun-alun Batu tujuan refreshing kami kali ini. Walaupun begitu, tempat ini masih memberikan suasana wisata mahal. Cukup keluar uang dua ribu untuk parkir, ditambah dua ribu untuk kopi. Kami bisa menikmati jalanan serta taman yang ramai kerlip lampion. Dan terlebih, ada rasa rumah di sini.
Tentu aku juga membawa buku sketsa, peralatan wajib. Malam di sini menjadi salah satu candu setelah renovasi. Kau bisa melukis banyak emosi dari segala umur di sini. Malam atau siang sama saja. Akan selalu ramai. Aku pamit dari rombongan yang di seberang jalan, mereka paham. Aku memilih duduk di depan air mancur. Ada riang anak-anak yang bermain air di sini, tak lupa muda-mudi saling memadu kasih.
Malam di Batu bisa membuatmu ketagihan untuk selalu datang. Mereka menawarkan eksotisme parade lampu di tengah sejuk hawa pegunungan. Apalagi ketika kau bisa melihat arsitektur alami itu dari ketinggian. Oh ya... di Alun-alun ini kau bisa menyaksikannya juga. Ada bianglala yang menjadi ikon Alun-alun Batu. Karena memancarkan cahaya paling terang. Ketika dari kejauhan, kau lihat kerlip terang memancar. Itulah bianglala ini. Mungkin aku harus mencobanya lagi. Bukankah melihat dataran yang luas bisa membuat hatimu lebih luas?
“Pak, tunggu...!!” Aku berteriak dan sedikit berlari-lari kecil. Bianglala itu sudah mau jalan.
Ah... untung saja aku bisa mengejar dan penjaga itu sabar menunggu. Ada orang lain di dalam.
“Mas, berdua sama yang lain ya? biar imbang.” Ucap penjaga bianglala.
“Iya deh pak...” Sebenarnya aku ingin menikmati ini sendirian. Tapi ya sudahlah, namanya juga wisata umum, murah lagi. “Permisi... eh!!” Gadis itu....

About the Author

muchtarps

Author & Editor

Mobile developer muda. Kadang berubah menjadi batman pada malam hari. Siang harinya berubah juga kalau lagi mood. Bekerja di bawah naungan bos dermawan dan rendah hati. Yaitu saya sendiri.

0 comments:

Post a Comment



 

Copyright © Mahya. All rights reserved. Template by CB Blogger & Templateism.com