Ojok Lebay, Kompromi Lah...


Kadang kita merasa jadi yang paling bijak, paling benar, paling dewasa. Sehingga kita seperti wajib membenarkan orang lain karena menurut kita salah. Tapi tahukah kalian masalah sebenarnya adalah karena kita merasa.

Mari sebentar kita singgung rumus dasar matematika. Ada namanya lingkaran. Dia memiliki 360 derajat. Jika bola kita hitung dengan cara ini akan kita dapatkan 41236 derajat. Dengan modal derajat tersebut mari kita kembalikan pada paragraf pertama. Kita ganti bola dengan bumi, lalu derajat dengan pendapat/pandangan. Maka akan kita dapatkan 41236 pandangan yang berbeda. Ini kita masih menghitung dengan bola yang bulat mengkilap, belum bumi yang banyak tanjakan ama turunannya. Mau perhitungan yang lebih detail? Di dalam 1 derajat tadi, masih kita detailkan lagi menjadi satuan yang beda. Entah manusia, mikro, nano. Apalagi ini masih di dalam satu cara. Kita tidak tahu ada berapa cara selain ini baik yang sudah ditemukan atau belum.

Jadi kawan, santai saja menghadapi isu, masalah, atau berita di dunia ini. Ojok lebay :p . Anggap saja pelajaran, karena banyak yang tidak kita tahu. Kita ambil isinya, kita lempar bentrokannya. Seperti kata Mr. Edi Akhiles, "Kompromi lah...." Seperti air mari kita mengalir lewat sela-sela setiap batu, ambil daun yang ada di sana, tapi larutkan debu yang menempel. Maka kita bisa menjadi sungai yang jernih, bukan malah menjadi air bah.

Kenapa aku malah ngeblog ginian? Kan harusnya ngerjain PKL dulu. -_-

Memahamimu


Move on atau belum, bukan indikasi kita tak bahagia kan? *nyariBenernya :D

Kau tahu tempat kau melamun meski mbak-mbak pelayan sudah memanggilmu? Aku di tempat itu sekarang. Orang bilang takdir, tapi tak kupercaya begitu saja. Meski hujan deras membuatku berhenti sejenak. Kakikulah yang melangkah melewati pintu dan duduk di tempat yang persis setahun lalu. Masih ada baumu di kakiku, tapi yang paling kuat tentu di kepala. Mungkin bila dibelah,
akan mencuat macam tabung gas pemadam kebakaran.

Namun, meski gas itu masih memenuhi segala sisa ruang kepala. Otakku masih berdenyut dengan cepat. Memaksa untuk menyelesaikan segala tugas, meningkatkan kemampuan badan. Ya, walau di selanya masih memikirkanmu. Mungkin ini sebuah anugerah, yang memaksa otakku bekerja melebihi kapasitas umumnya. Katanya jika kita bisa memaksimalkan fungsi otak melebihi dua puluh persen, kita bisa melakukan sesuatu yang mustahil, seperti para pesulap. Barangkali aku bisa menghadirkanmu lagi di depanku, tepat seperti setahun lalu, dengan tiramisu di bibir masing-masing, kita mengunyah kata kesukaan masing-masing. Dengan begitu aku bisa menunda agar gas ini tak berubah menjadi air, lalu menjadi semakin pekat.

Sampai sekarang aku masih gamang apa yang kamu lamunkan saat itu. Setiap malam salah satu scene itu pasti tampil di layar, “Itukah awalnya?” Apakah sikap dinginku yang sedang kau lamunkan? Yang selalu menyiksamu...?

Tapi kini ingatan itu juga menyiksaku. Setiap malam tak lepas kepala dari penat. Membuatnya sempurna berdenyut kencang dua puluh empat jam. Yang menjadikan baumu di kepala berubah menjadi pekat. Mungkin sebentar lagi akan menjadi kerak, tak bisa lagi dilepaskan.

Tapi, jika ini hukumanku karena tak segera paham, aku ikhlas. Aku akan menjalani hidupku bersama ingatan itu. Menjadi laki-laki yang berkembang, tumbuh, dan bekerja keras bersama segala hukumanmu padaku. Setidaknya sampai aku memahamimu. Semoga kau sabar menanti kebebalanku ini.

Berubah!!! Mari Menata Ulang



“Ibu, izinkan aku menikah.”

Statement macam atas biasanya banyak dipakai mereka yang sudah mepet-mepet akhir studi. Kalau yang udah kerja itu mah beda soal. Analisisnya ada jalurnya sendiri. Hahaha. Statement di atas seringnya sih buat update status, merana-rana barangkali ada satu dua perempuan mampir komentar atau sekedar ngeklik like. Setelahnya sih ya udah, kagak nikah juga. Mungkin itu teknik marketing mereka ya, sumonggo mawon. :D Tapi biasa banget update status! Udah banyak yang begitu! Pasaran! Kayak aku gini dong, ngeblog! #ups

Jadinya izin itupun kebanyakan gak proporsional, maksudnya ya sekedar kepingin aja. Misal kalau izin itupun jadi nyata, nggak yakin bakal berangkat nikah juga. Kebanyakan mereka yang bilang kayak itu ya ujung-ujungnya pengen curhat aja, terus biar dapet perhatian. Kalau dikasih izin mungkin mereka malah akan bingung mau melangkah darimana, yang disiapin apa aja, atau malah mundur perlahan.

Karena mereka yang sudah siap gak perlu minta izin. Yang belum diizinin itu ya yang belum siap. Masak iya minta nikah, ditanya syarat nikah aja masih buka kamus. Yakali bukanya cepet, ini masih nyari letak bukunya. Parahnya lagi masih mau beli bukunya. Ye udah mending beli buku dulu sono, pelajarin. Yakin kok orang tua malah bakal nawarin sendiri kalau emang udah siap.

Aku doain deh semoga mereka, para jomblo akut (kagak nunjuk diri sendiri) segera dilapangkan dada dan pikirannya. Jadi lancar banget pas diisi segala pelajaran dunia akhirat. Tangan kakinya gampang banget kelatih jadi gesit, jadi banyak karya yang muncul dari mereka. Mereka memiliki waktu lebih luang daripada mereka yang berpasangan. Moga aja bisa dipakai buat bikin karya sama upgrade badan plus ruhnya.

Setelah doa sekarang aksinya dong. Lalu gimana mulainya? Kalau menurutku satu-satunya yang paling manjur itu dipaksa. Seperti sekarang ini aku lagi ngerjain PKL bareng temen. Tapi kelupaan sampai 3 minggu, sedang waktu PKL itu kan cuma sebulan. Aku paksa untuk ngerjain GDD seharian. Besoknya konsultasi buat nyari dosen pembimbing (tuh kan, dosbing aja baru nyari). Terus seharian lagi ngerjain Laporannya. Setelahnya presentasi ke perusahaan. Semoga bisa Bener-bener dipaksa nih hati. Semoga aja cara ringkas ini berhasil.

Niatnya setelah PKL ini selesai, aku pengen buat #resolusi. Di antaranya segera lulus sama kerja. Lalu ngerjain beberapa hobi yang terbengkalai beberapa tahun ini. Tentu yang ngehasilin duit (eh, duit itu cuma efek dari hobi ya).

Salah satu hobi yang bakal masuk #resolusi ya ngeblog ini (Tapi kalau ngeblog kagak nyari duitnya, nyari senengnya). Aku bakal rutin paling enggak seminggu sekali nulis di sini. Itung-itung ini sebagai log #resolusi apa aja yang aku lakuin dan belum. Jadinya kalau aku udah tulis begini, terus mulai loyo lagi aku bakal malu sama temen-temen yang udah baca.

Kenapa Memilih Sendiri?



Postingan ini bisa diartikan NTMS atau alasan bagi mereka yang illfell dan juga kasihan ngeliat aku. Aku normal, gaess, hanya butuh pengertian aja kok. Ini bukan tentang status pernikahan bagi mereka yang mulai mikir macam-macam, karena orang yang memilih jalan kesendirian pasti ada kelainan. :D Berkaitan dengan pekerjaan.

Berdasar pengalaman, aku lebih nyaman ngerjain semua tugas sendirian. Lebih cepat menurutku, dan gak banyak beda pendapat. Tapi ini masih berlaku buat hal-hal kecil. Semisal tugas kampus atau kerja-kerja freelance. Mungkin juga aku belum ketemu sama partner kerja yang klop. Baik secara skill maupun kepribadian, jadinya sampai saat ini aku selalu kerja sendiri. I'm so picky right? :D

Alasan lainnya adalah i must work more harder than anyone else in a group to catch up. Banyak sekali teman kerja yang sudah sangat ahli dibidangnya. Sedangkan aku harus mulai belajar dari awal, ngeja atu-atu tuh pelajaran/kerjaan. Apa ada ya dissleksia ringan? Hahaha. Semoga saja aku normal. Itu pula yang buat aku harus belajar sendirian. Susah belajar bareng kalau gurunya gak bener-bener keren. Kerjaan yang lambat ini sering aku lakukan pas kerja kelompok ama mereka yang udah pro. Makanya supaya nggak bikin mereka lambat belajar, aku jarang ngajuin diri ke mereka. Selain itu biar bisa mandiri juga dong.

Alasan terakhir kayaknya aku masih lemah. Kudu mulai perlahan nyiapin diri sendiri, ngatur timeline kerja yang baik buat nih badan. Mulai bangun tidur, masak telor, kerja, ampek rekap harian sebelum tidur. Setelah itu sukses kayaknya aku bakal mulai berani lagi buka relationship sama orang lain. Sebelum itu, so sorry, gaess, aku sangat tertutup.

Generalisasi | Bu Susi & #RevolusiMental

Sebenarnya agak ragu mau bahas ini, tetapi daripada jadi beban sendiri, sharing jadi pilihan yang lebih baik. Tentang Bu Susi. :D Sudah hampir sebulan ini merenung tentang masalah ini. Saya bangga dan senang ketika melihat gebrakan-gebrakan kerja ibu Susi. Tetapi memang saya tidak suka dengan rokok dan tato.

Mengenai hal tersebut, banyak sekali teman dan ustadz yang merujukkan masalah ini dengan sosok pemimpin yang harus jadi teladan masyarakat. Lalu merembet ke masalah perbandingan antara akhlak dan kinerja. Bagaimanapun juga akhlak itu lebih utama dibandingkan kinerja.

Sekilas saya setuju dengan statement tersebut. Namun bukankah akhlak yang baik itu akan terpancar dari kinerja yang bagus. Akan tetapi kita tak bisa menghakimi akhlak yang buruk bagi orang yang kinerjanya kurang baik. Masih banyak faktor.

Kembali ke masalah utama. Saya gamang antara dua pendapat tersebut. Sampai-sampai saya pernah berfikir apakah kita harus memisahkan urusan agama dan kerja?

Untung saja masih ada Tuhan dan teman-teman yang juga dekat dengan Tuhan yang membuat saya menemukan jawaban dari masalah ini. Masalahnya hanyalah satu. Generalisasi membabi buta.

Kita semua adalah manusia. Tetapi memiliki sidik jari yang berbeda. Bahkan orang kembar pun tak ada yang sama, hanya satu di dunia. Begitu pun masalah (salah satunya yang sedang dibahas). Semuanya pasti ada perbedaan, tak bisa kita potong rata. Kasus Bu Susi, Ratu Atut, Bu Risma, dan masih banyak ibu-ibu laiinya yang mungkin bisa kita cocok-cocokkan atau bandingkan satu sama lain. Tapi jika kita berlaku fair, kita hanya perlu menilai satu persatu, lalu ambil hikmahnya. Finish!

Yah semoga saja #RevolusiMental itu bisa membuat anak Indonesia jadi lebih baik. Tak lagi berfikiran yang terlalu menggeneralisasi, tak memaksa untuk membandingkan sesuatu yang masih ada logika yang salah di sana.


 

Copyright © Mahya. All rights reserved. Template by CB Blogger & Templateism.com