Kau tahu tempat kau melamun meski mbak-mbak pelayan sudah
memanggilmu? Aku di tempat itu sekarang. Orang bilang takdir, tapi tak
kupercaya begitu saja. Meski hujan deras membuatku berhenti sejenak. Kakikulah yang
melangkah melewati pintu dan duduk di tempat yang persis setahun lalu. Masih
ada baumu di kakiku, tapi yang paling kuat tentu di kepala. Mungkin bila dibelah,
akan mencuat macam tabung gas pemadam kebakaran.
akan mencuat macam tabung gas pemadam kebakaran.
Namun, meski gas itu masih memenuhi segala sisa ruang
kepala. Otakku masih berdenyut dengan cepat. Memaksa untuk menyelesaikan segala
tugas, meningkatkan kemampuan badan. Ya, walau di selanya masih memikirkanmu.
Mungkin ini sebuah anugerah, yang memaksa otakku bekerja melebihi kapasitas
umumnya. Katanya jika kita bisa memaksimalkan fungsi otak melebihi dua puluh
persen, kita bisa melakukan sesuatu yang mustahil, seperti para pesulap.
Barangkali aku bisa menghadirkanmu lagi di depanku, tepat seperti setahun lalu,
dengan tiramisu di bibir masing-masing, kita mengunyah kata kesukaan
masing-masing. Dengan begitu aku bisa menunda agar gas ini tak berubah menjadi
air, lalu menjadi semakin pekat.
Sampai sekarang aku masih gamang apa yang kamu lamunkan saat
itu. Setiap malam salah satu scene itu pasti tampil di layar, “Itukah awalnya?”
Apakah sikap dinginku yang sedang kau lamunkan? Yang selalu menyiksamu...?
Tapi kini ingatan itu juga menyiksaku. Setiap malam tak
lepas kepala dari penat. Membuatnya sempurna berdenyut kencang dua puluh empat
jam. Yang menjadikan baumu di kepala berubah menjadi pekat. Mungkin sebentar
lagi akan menjadi kerak, tak bisa lagi dilepaskan.
Tapi, jika ini hukumanku karena tak segera paham, aku ikhlas. Aku akan menjalani hidupku bersama ingatan itu. Menjadi laki-laki yang berkembang, tumbuh, dan bekerja keras bersama segala hukumanmu padaku. Setidaknya sampai aku memahamimu. Semoga kau sabar menanti kebebalanku ini.
0 comments:
Post a Comment