3 Kondisi

Waktu menunjukkan pukul 10 malam, rombongan pun turun dari truk dengan wajah lesu masu. Mungkin sedang mengalami jet lag atau memang itu wajah aslinya. Karena belum sholat ramai-ramai mereka menyerbu musholla kecil di desa itu, walaupun kecil namun alhamdulillah masih cukup untuk menampung rombongan satu truk tadi.

Sebagian langsung wudhu dan masuk masjid untuk segera mendirikan sholat, sebagian leyeh-leyeh untuk menenangkan jet-lag nya, dan sebagian yang lain sedang bermain-main, ya namanya juga anak kecil. 30 menit pun akhirnya berlalu, dan yang leyeh-leyeh tadi pun segera menyusul ambil air wudhu. Namun petaka melanda (lebay ah), air di tempat wudhu sudah kering ternyata, tidak mengalir lagi setelah dihabiskan kloter sebelumnya. Sementara disitu masih ada sekitar 10an orang belum wudhu dan masih dengan wajah kumut-kumutnya karena jet-lag.

Salah satu orang tetap berusaha dengan air yang mengalir walaupun sedikit, dengan waktu yang cukup lama akhirnya selesai juga wudhu mereka. Secepat itupun dia segera menunaikan sholat karena waktu sudah sangat larut tersebut.

Ada juga beberapa orang yang ngomel-ngomel ditengah malam, entah apa yang diomelkan ditengah jet-lag nya itu. Hampir mirip dengan lolongan serigala tengah malam yang kita juga tak tahu apa maksutnya. Dan itu menambah psuing rombongan yang lain yang tengah istirahat dan berusaha istirahat.

Ada lagi beberapa orang yang lain sibuk wira-wiri mencari air, berusaha mencari sumber masalah kenapa airnya mati, ada juga yang mencari sumber air lain. Alhamdulillah salah satu dari mereka, berjarak sekitar 50 meter dari musholla menemukan sumber air lain. Yang lain yang sibuk dengan aktifitasnya tadi berbondong-bondong menyerbu tempat itu, termasuk orang yang dari tadi isinya ngomel terus. Setelah antri mereka akhirnya bisa berjama'ah bersama sebelum istirahat malam.

Ibu itu Indah

Ibu itu bukan profesi, bukan juga hobi.
Ibu itu bukan babu, juga bukan pesuruh.
Ibu itu bukan pula robot, ataupun barang.

Sayangi dia semaksimal bisamu.

Sederhana sekali bukan kata-kata diatas. Memang kata itu sederhana hanya sebatas 26 abjad yang saling dipadukan. Namun tindakan lebih dari sekedar kata sederhana.

Bagi yang sudah tak punya ibu, atau sekarang tidak bersama ibu kandung pasti paham arti diatas. Ibu itu bukan profesi yang seenaknya setiap disuruh ibu, atau sekedar diajak malah bilang "Itu kan tugasnya ibu". Atau bahkan kita berbaik sangka mengira ibu suka dengan kegiatannya, sehingga kita mendiamkannya "Ah gak usah dibantuin, itu hobinya ibu kok." Padahal kita disuruh nyuci piring sisa makan kita sendiri.

Ibu itu juga bukan babu kita yang enak diperintah ini itu. "Bu, minta ayam goreng ya? Bu, kok minyaknya habis? Bu, ini baju habis main bola". Enak bener kamu main perintah aja, emang kamu gaji ibumu? seberapa besar yang kamu kasih? dibanding nyawa ibumu selama 9 bulan dan waktu kelahiran besar mana?

Ibu itu juga bukan pesuruh yang membuat kita takut akan dijitak atau dijewer nantinya. Itu persepsi kita yang salah. Kalau tak ada cinta disitu tak mungkin ibu kita sebegitu khawatirnya akan kondisi darah dagingnya sendiri. Kalau tak ada cinta disitu mana mungkin ibu kita menyuruh hanya sebatas yang kita bisa? bisa saja ibu menyuruh kita minggat dari rumah yang setiap hari selalu menyusahkan, mungkin kan?

Ibu juga bukan robot serta bukan barang. Ibu itu manusia yang memiliki perasaan, cinta, kasih sayang yang membuat kita bisa sebesar sekarang. Mana ada ibu yang mau mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan nyawa yang lain, yang kemungkinan bisa menambah bebannya, jika tak ada cinta disitu. Malah sangat mungkin lagi ibu mempertaruhkan nyawanya selama merawat kita sampai sekarang? apa kamu tahu perasaan ibumu sekarang? penyakit ibumu secara detail? perasaan ibumu selama ini? seberapa banyak tetes air mata ibumu? Kalau aku belum pernah menemukannya sendiri lewat mulut ibuku sendiri. Hanya lewat bapak dan tetangga yang menyuruhku lebih peka merawat ibu.

Sekali lagi sayangi dia dengan hati, sayangi dia sampai titik dimana tidak ada sayang lagi kecuali dia. Tentunya setelah Allah dan Rosulullah yang tak perlu dibahas lagi sebagai seorang muslim. Sebelum kau tahu diakhir bahwa ibumu sangat berarti dihidupmu.

Ryuki Aiko


           Tempat duduk di tengah, dekat Albert. Itulah yang ada di pikiranku ketika memasuki ruang ujian UAS semester ini. Seperti semester-semester sebelumnya yang membuktikan kalau yang ada disebelahku itu Albert pasti akan membawa keberuntungan, entah itu dibilang keberuntungan atau strategi. Ilmu itupun yang selalu kugunakan di setiap ujian di kampus ini. Dan aku sangat beruntung mempunyai teman sepintar Albert. Selain strategi tersebut, tidak lupa tadi malam aku dan teman-teman berkoordinasi terkait alur koordinasi nanti waktu ujian. Siapa saja yang menjadi sumber, siapa yang membagikan, dan siapa yang bagian mengawasi pengawas. Semua sudah tertata rapi. Memang benar-benar kompak kelas ini. Bermain game saja kelasku selalu yang menjadi juara dalam hal kerjasama, apalagi hanya untuk UAS ini. Ah gampang lah.

Satu persatu squad kelasku hadir dan mulai menempati posisinya masing-masing. Semester ini menurut perkiraanku akan lancar seperti semester yang lalu. Sampai salah satu temanku, namanya Yudi duduk di tempat yang berdekatan dengan pengawas.
“Wah, anak ini bisa buat rencanaku gagal ini. Siapa yang bagian mengalikan perhatian pengawas kalau begini, coba?” gumamku sendiri.
“Ah biarkan saja, toh kita masih ada yang lain di posisi sana” jawab temanku menenangkan.

***

Dan soal ujian mulai dibagikan. Di menit-menit awal kami santai, dalam perhitungan kami di awal kalau pada waktu-waktu seperti ini pengawas akan memberikan perhatiannya secara penuh, dan sumber-sumber kami juga bisa dipastikan belum menemukan jawabannya. Jadi kalau kita melakukan aksi pada menit-menit awal seperti ini tidak akan berbuah hasil yang maksimal dan membuat pengawas lebih memberikan perhatiannya pada menit-menit selanjutnya. Ini bisa berabe kalau sampai terjadi, gagal total sudah segala persiapan kami.

Setelah 30 menit awal berjalan, melihat kondisi yang sudah mulai kondusif. Aku pun memberikan kode bahwa aksi boleh dimulai. Secara halus dan terkonsep sejak awal jawaban berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, dari bangku satu ke bangku yang lain, dan dari hp satu ke hp yang lain sampai semuanya terdistribusi secara rata kecuali Yudi yang tak pernah mau ikutan dengan cara kita mengerjakan UAS. Dia selalu menjawab sendiri, tak mau diberi contekan dan tak mau mencontek. Walaupun dia sendiri tergolong anak yang tidak terlalu pintar di kelas.

Seiring berjalannya waktu, pengawas memberitahukan bahwa waktu akan habis. Bergantian kami mengumpulkan jawaban agar bisa teracak satu sama lain. Dengan hati lega kami keluar ruangan.

***

Masuk hari kedua ujian kami mulai lebih ketat dalam strategi. Kalau dalam sepakbola ini bagaikan pertandingan derby antara Arsenal dan Chelsea yang cukup menguras keringat, karena mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang terberat diantara mata kuliah yang lain pada semester ini. Kami mulai mengatur segalanya, mulai dari siapa yang akan menjadi sumber, sebagai cadangan siapa yang akan membawa resume masing-masing bab-nya, dan persiapan yan lainnya.

Tak berapa lama Yudi masuk dan langsung duduk di tempat yang paling depan.
“Ah, anak ini pasti mencontek juga sekarang. Orang waktu kuliah saja dia lemah di mata kuliah ini. Aku tidak yakin kalau dia seperti kemaren lagi.” Ucapku dalam hati.

Dengan cepat pengawas membagikan soal serta lembar jawab ujian. Dan sekali lagi rencana pun berjalan dengan lancar, walaupun ada sedikit masalah di tengah-tengah, namun keseluruhan bisa dikatakan lancar.

Kenapa setiap ujian tak pernah sekali saja aku tidak memikirkan Yudi. Begitu juga saat itu, rasa benciku tiba-tiba muncul.

“Ih, anak ini. Sok alim banget sih. Nyontek tidak mau, dicontekin juga tidak mau lagi. Emang dia pintar apa? Sok alim banget sih...”
Setiap ujian yang pernah kulihat sekali saja dia tidak pernah memalingkan mukanya. Atau memang dia sedang sakit leher? ejekku dalam hati. Dia selalu kukuh untuk tidak menyontek.

Seperti biasanya ujian hari itu berlalu lancar dengan berbagai strategi kami. Juga hati ini terasa lega dan puas. Karena pasti orang tua tidak akan marah, dan ada yang dibanggakan ketika IPK diatas tiga. Tidak seperti dahulu waktu SMA yang setiap tugas yang diberikan guru selalu tidak bisa dikerjakan, apalagi selalu dimarahi orang tua ketika diajari tidak ada yang masuk ke otak. Pokoknya dahulu penuh tekanan. Beda dengan sekarang yang orang tua tidak akan ikut campur urusan kuliah, yang terpenting hasil bagus.

Hari dimana hasil ujian dibagikan menjadi suatu keasyikan tersendiri bagi kami. Seperti menunggu film terbaru yang akan launching di bioskop. Tak sabar aku menunggu hasil ujian semester ini. Aku yakin semester ini seperti semester sebelumnya akan sempurna. Paling tidak sekitar tiga. Aku yakin itu.

Ketidak sabaranku membuat sel-sel ini ikut terpengaruh, sehingga dengan cepat kubuka lepi yang selalu menemaniku selama kuliah disini, walaupun hanya game dan film yang memuncaki rating tertinggi aplikasi yang sering kubuka. Jari-jari ini menari dengan cekatan bersama tuts-tuts-nya mulai dari membuka rangakaian-rangkaian kode yang kupasang dalam lepi-ku. Masuk kedalam desktop yang berisi shortcut-shortcut game serta beberapa copy-an materi kuliah. Kuarahkan kursor ke browser dan langsung kubuka situs dimana nilai-nilaiku terekam.

Senyum lebar mengembang dari bibirku, menggambarkan kumpulan nilaiku yang sangat indah. A, B, B+ menghiasi sebagian besar hasil kuliahku untuk kesekian kalinya.

Seketika itu aku teringat temanku yang sok alim itu, Yudi. Walaupun ada rasa benci di hati dengan sikapnya yang sok itu, namun dia juga tetap kuanggap teman.

“Bagaimana ya nilainya?Dia kan tidak pernah nyontek di kelas. Kalau sampai bisa bagus sepertiku ini, wah kurang ajar anak ini. ”

Aku sedikit ragu dan kasian dengan nasibnya nanti. Yudi sebernarnya anak yang baik, namun dengan keangkuhannya itu menjadikannya banyak dibenci teman sekelas.

***

Keesokan harinya aku pergi kekampus, walaupun tidak ada kuliah tapi aku ingin melihat bagaimana nasib teman-temanku. Sesampai di kampus langsung kutemui papan pengumuman di jurusanku. Dan pandanganku langsung mengarah pada daftar nilai mahasiswa-mahasiswa matematika 2010. Satu persatu kawan karibku tak lepas dari pengamatan.

“Ah, dasar kurang ajar kau Dib. Padahal kau kemaren banyak diamnya, tapi nilaimu bisa melebihi aku. Pakai dukun mana kau? Hahaha.”

            Sedikit sebal aku dengan Adib yang mempunyai nilai diatasku, padahal dia itu kalau dibandingkan denganku masih pintaran aku.

        Searah dengan jari-jariku mengurutkan nama-nama di papan pengumuman. Kutemukan nama yang tak asing lagi. Dan kuurutkan dengan nilai-nilanya.
            “B, C, D, C, C”
            Nilai-nilai yang kelas low-end tersebut yang terpampang di papan pengumuman. Dengan sedikit angkuhnya aku menghinanya.

            “Dasar sok alim, rasain tuh nilai-nilaimu.”

            Tiba-tiba Si Yudi menepuk dari belakang. Dan dengan santainya menanyakan nilainya kepadaku. Dengan berlagak friendly dia menanyakan itu dengan merangkul pundakku.

“Wah nilaiku pas-pasan lagi ya? Hahaha. Tapi tak apa-apalah yang penting masih sesuai syarat.”

            Dalam hatiku santai sekali anak ini, tidak ada beban sama sekali. Hasil yang seperti tadi dianggap seperti angin lalu, seperti tidak ada apa-apa yang terjadi. Karena penasaran kuselidiki keseharian Yudi dengan sembunyi-sembunyi.

            Mulai dari teman dekatnya satu persatu aku tanyain bagaimana keadaannya saat bersama mereka. Apakah dia anak yang pintar atau bagaimana kesehariannya bisa sampai sesantai itu dengan nilainya? Mereka pun hanya menjawab biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa dari Yudi.

            Kurang puas, kukunjungi rumahnya. Namun hanya bisa kutemui orang tuanya. Kutanyakan pertanyaan yang sama kepada ibunya Yudi. Dan jawabannya pun juga masih memuaskan hatiku.

            “Yudi itu dik, anak yang pendiem. Dan kerjaannya itu banyak didalam kamar.”

            Sumber-sumber yang lain pun juga aku tanya satu persatu. Dan hasilnya sama saja, Dia sama seperti mahasiswa biasa yang lainnya. Tidak ada yang istimewa dari Yudi.

            Karena sangat penasarannya di lain hari kukunjungi Yudi di rumahnya yang kebetulan hari itu hari libur. Ibunya yang sebelumnya pernah bertemu denganku mempersilahkanku masuk dan menyuruh agar langsung menemui Yudi di kamarnya.

            “Eh Mar” 

            Yudi terlihat kaget dengan kedatanganku. Sepertinya aku mengganggu keasyikan dalam menulis. Apakah dia menulis cerita, tugas, atau yang lain aku takterlalu memperhatikannya. 

            “Iya Yud, aku tadi lewat sini. Jadi mampir saja, tidak apa-apa kan?”
            “Eh, aku cuma kaget saja. Silahkan...silahkan... Aku buatkan minum dulu ya?”
            “Tidak usah repot-repot Yud, cuma sebentar kok sepertinya.”
            “Beneran tidak mau? sudah kamu istirahat dulu saja. Cuma sebentar kok.”
            “Hehehe, oke deh.”

            Ketika Yudi pergi, kuperhatikan sekeliling kamarnya. Biasa kebiasaan seseorang kalau melihat sesuatu yang baru, pasti ingin tahu. Begitu juga denganku, mulai tempat belajar, kasur, almari, dan berbagai sisi kamar kuperhatikan satu persatu. Lumayan juga anak ini, kamarnya rapi untuk ukuran kamar cowok. Namun dari semua sisi kamar ada satu sisi yang membuatku bertanya-tanya. Ada kumpulan buku yang banyak sekali dan kesemuanya tertulis nama “Ryuki Aiko”. Siapakah nama itu sampai dia mengoleksinya segitu banyaknya. Padahal nama itu nama yang kurang terkenal.

            Sangat penasarannya diri ini membuatku membaca buku-buku itu. Ini novel? Kok sampai sebanyak ini ya? Novel dari manakah ini? Apakah terjemahan dari Jepang atau asli Indonesia? Semua pertanyaan itu langsung muncul di otakku.

            Waktu Yudi datang kutanyakan perihal novel tersebut kepadanya. Jawabannya sangat singkat. Iya itu koleksiku sejak lama. Ketika kutanyakan ke orang tuanya pun, mereka juga tidak tahu. Mungkin koleksinya dik, kan Dia sering baca novel begitu.

            Setelah obrolan yang lama bersama Yudi aku pun pamit pulang. Sesampai di rumah langsung kucari semua informasi tentang novel itu dan nama Ryuki Aiko. Dan ada salah satu artikel yang mengulang penulis novel itu dan kutemukan fakta bahwa...
            “RYUKI AIKO =  YUDI PRIMAHENDRA”

Entah Kapan dan Dimana

Selalu saja menjadi bahan perbincangan antara si kanan dan si kiri. Entah aku memihak yang mana? Hampir setiap hari perbincangan ini tak pernah berhenti, bahkan sering 24 jam terus menerus berurutan. Iya benar 24 jam, dalam mimpi pun kadang selalu hadir yang membuatku serasa tak tidur selama 24 jam itu.

Terkadang ingin cukupkan saja pergulatan ini, dan sesekali merasakan bebasnya tanpa pemikiran. Tapi apakah itu baik? apakah itu seharusnya? Bahkan sampai menjadi pendiam pun sebenarnya di dalam diri sudah saling teriak. Si kanan bilang A si kiri bilang V. Saling susul-menyusul kalau mengenai pendapat.

Manakah yang lebih baik? meniadakan dengan bakal tertinggalnya oleh zaman dan waktu. Atau mempertahankan dengan resiko menambah data di dalam otak. Ah, entahlah sampai menulis inipun penuh dengan kebimbangan dan pertanyaan. A, B, C, D . . ., Z, sampai kode-kode alay pun akan jadi opsi kalau itu mungkin.

Haruskah kubagi bersamamu? bersama temanmu? atau cukupkah area ini? semakin membuatku terus berfikir dan berfikir tentang berbagai pertanyaan itu?

Apakah bermuara di satu tempat nantinya? Apakah dirimu pemecahnya? atau tinggalkan saja?

Ah semakin penuh saja otak ini. Mungkin kucukupkan saja segala itu, biar kutebar pada temaram malam agar terjawab dengan sendirinya. Entah kapan dan dimana.

Beri Kami Itu

Tiada sesal ketika dalam dekap
Tiada daya ketika dalam harap
Tiada gelap ketika dalam malamMu
Tiada sesat ketika lurus

Mendebu dibawahMu
Meraja di alamMu
Harap dari setiap kami

Belaian cintaMu
Pukulan cintaMu
beri kami itu

Malang 16/10/12

Perjalanan menggapai misi mulia



Alkisah di sebuah tempat yang bisa dinamakan padang pasir, terlihatlah beberapa pemuda sedang melakukan perjalanan. Ya walaupun kalau diperhatikan lagi tak semuanya pemuda. Beberapa pemuda tadi melakukan perjalanan untuk menyelesaikan misi mulia mereka, misi yang hanya mereka yang bisa menyelesaikannya.
Perjalanan itu dimulai pada temaram malam, dan hanya ditemani 2 sumber cahaya dari senter mungil serta bintang. Masa pencarian yang cukup panjang menelusuri lembah, bukit, rawa, bekas sungai, bahkan pasir hisap. Sangat mengerikan bukan kalau dibayangkan? begitulah mereka membayangkannya diawal. Bagaikan berada di grand canyon yang mempunyai pasir hisap.
Beberapa pemuda ini sempat gugur, namun karena mengemban misi yang mulia perjalanan pun dilanjutkan. Sekali lagi beberapa pasir hisap serta jurang berhasil dilewati, walaupun sempat terperosok tapi tak sampai guling-guling seperti di anime-anime.
Ditengah guyuran sinar dari bintang pemuda-pemuda tadi melangkahkan kakinya setapak demi setapak mendekati tujuan mereka. Walaupun banyak kilatan cahaya dikanan kiri, mereka tak menghiraukannya, dan terus maju kedepan. Tanpa api, tanpa peta, serta tanpa pengalaman. Niat suci merekalah yang membuat mereka bertekat untuk segera menyelesaikan misi mulia mereka.
Dan akhirnya menjelang subuh mereka telah berhasil menaklukkan jurang serta pasir hisap yang menghadang mereka, dengan refleks serta koordinasi yang sigap pasir itu pun bukan halangan.
Setelah istirahat untuk mendirikan sholat, perjalanan dilanjutkan…
Sekarang mulai banyak personel yang berguguran, namun ada beberapa pangeran berkuda rela membagi kudanya untuk mendukung perjalanan mereka selanjutnya. Yah walaupun lewat penawaran yang sengit untuk menentukan harga. Setelah harga dinyatakan sah, pangeran itu pun mengantarkan beberapa personel untuk mencapai puncak.
Dan akhirnya. . .
Perjalanan masih berlanjut. Masih banyak tanjakan dan rintangan yang harus ditaklukkan.
Dan akhirnya lagi. . .
Perjalanan terhenti oleh beberapa kilatan cahaya, atau zaman sekarang sering dibilang lampu blitz.
Dan akhirnya lagi lagi . . .
Kilatan itupun terus menghantui mereka. Yah begitulah panjangnya rintangan yang mereka hadapi untuk mencapai puncak kejayaan.
Mulai terlihat aura kepuasan terpancar dari para pemuda tadi setelah berhasil menyelesaikan misi mulia mereka, setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.
Dan akhirnya, poto-poto untuk kesekian kalinya.

Ini kisah nyata yang diambil dari perjalanan ke bromo oleh beberapa anak FLP bareng saya, yang nulis nih cerita.

#Rohis Memang Nyebelin

#Rohis memang nyebelin, apalagi #Rohis tak suka rokok. Jadinya bakal sepi tuh para pedagang rokok, terutama produsennya.

#Rohis memang nyebelin karena #Rohis suka sedekah. Jadi gak ada ladang kerjaan lagi tuh para rentenir.

#Rohis memang nyebelin karena #Rohis jauh dari narkoba. Jadi para pedagang narkoba bakal kehilangan pelanggan.

#Rohis memang nyebelin karena #Rohis seneng saling ngingetin. Jadi yang korupsi atau klepto bakal males sama yang namanya anak #Rohis, cerewet banget sih.

#Rohis memang nyebelin karena #Rohis tak suka buka aurot. Jadi perusahaan fashion dunia bakal tutup. Itu tuh yang bajunya cuma kaya saringan santan.

#Rohis memang nyebelin karena #Rohis tak suka bohong. Jadi tak ada calo atau tipu-tipu lainnya dijalanan. Apalagi koruptor bakal panas dingin kalau ada #Rohis, nyaring banget suaranya.

Semesta

Dirimu indah
ketika diatas sajadah
menatap dengan tengadah
tentang apa yang entah

Mengharap semua tentang cita
Yang sudah tak lagi jelita
Sudahkah kau cinta
tentang apa yang kau cita

Sudahlah,
hidup ini memang cerita
tentang semesta
yang sudah ditata
dan menunggu tampak para anggota

11/10/2012

Rindu

Halus tanganmu
anugerah bagiku
buatku termangu
akan indahnya imajinasi semu

akankah kita menyatu?
sungguh aku sangat rindu
akan tali kasih yang saling berpadu

ku yakin tentang itu
bahwa siapa yang suci perilaku
akan saling menyatu
di balik surga-Mu

i.b.u
11/10/2012


 

Copyright © Mahya. All rights reserved. Template by CB Blogger & Templateism.com