Gadis Bermata Sayu



Seseorang berwajah putih, bermata sayu, dengan jilbab ungu yang membuatku seperti ini. Bangun lepas subuh, mandi dengan air beku malang, lalu duduk manis tepat depan perpustakaan kampus yang belum buka. Hanya berteman bangku-bangku besi yang berjajar panjang. Aku duduk paling ujung, agar pandanganku luas. Tak ingin kehilangan kesempatan menemui gadis bermata sayu itu.
Lepas satu jam. Mata sayu itu belum tampak. Beberapa mahasiswa mulai ramai. Memarkir sembarang kendaraan mereka di sisi jalan. Yah, kampus ini memang kekurangan lahan, atau kelebihan orang? Haha. Mereka terburu-buru sampai terbirit-birit. Sepertinya mereka bangun kesiangan.
Tiga jam kuhabiskan dengan duduk. Hampir seluruh tempat duduk penuh. Tapi mata sayu itu masih belum terlihat. Kuedar pandang ke kerumunan mahasiswa di kolam belakangku. Bukan. Kulempar jauh pandang sampai seberang. Tch. Hanya satpam yang sibuk dengan kopi dan ketawa.
“Permisi mas...”
Mataku berbinar. Kutengok langsung ke belakang. Aku ingin segera menyap... Ah sayang sekali. Kukira gadis bermata sayu itu. Ternyata hanya mahasiswi yang ingin menggunakan colokan di sampingku. Dugaanku dia anak baru, dilihat dari wajah SMA-nya.
“Iya, silahkan.”
Banyak orang lalu lalang. Lalu lintas mulai padat merayap. Ini tandanya sudah siang. Aku pulang. Sekarang giliran jaga warnet. Hari ini mungkin cukup. Yah, semoga esok ada hasil.
Lima hari sudah rutinitas ini kujalani. Bosan mendera. Belum juga berhasil kutemui gadis bermata sayu itu. Sejak pertama bertemu dengannya tanganku berubah jadi batu. Kaku. Selalu ada yang kurang dari lukisanku. Dan salah satunya adalah lukisan gadis itu.
***
Ini berawal lima hari sebelumnya. Di acara ulang tahun kampus. Mereka mengadakan lomba lukis sebagai salah satu acara parade seminggu penuh. Ini hal baru di sini, karena sebelumnya hanya di isi konser. Paling-paling hanya satu dua yang menarik. Salah satunya wayang kulit. Tapi sekarang mereka berpihak padaku. Selain wayang kulit, mereka mengadakan lomba lukis. Membuatku semakin bergairah datang ke kampus.
Tapi saat hari H, di mana semua peserta di uji untuk melukiskan kampus dalam waktu delapan jam. Membuatku kelabakan. Deadline. Yah, deadline itu musuh besarku. Kepalaku buntu ketika harus dibatasi. Baik waktu maupun tema.

Bro, ketika denger UB. Yang kau pikirin apa?

Kukirim pesan ke temanku.

Macet lah.

“Hmm, macet ya? Okelah....”
Kuarahkan kuas pada kanvas. Kuarahkan pula mata mengikuti kuas. Tapi tunggu... di balik kanvas. Kau pernah saat kecil. Dipaksa ikut acara nikah. Dipaksa menyalami orang tua yang tak kau kenal. Hanya untuk basa-basi. Lalu kau melihat pojok souvenir. Ada boneka adat di sana. Tak lama kemudian kau asyik dengan boneka adat di duniamu sendiri. Itu yang kualami sekarang kawan. Mataku tertawan. Ada sosok yang melukis senyum di wajahku. Menawan mataku hingga tak ingin berpindah haluan darinya. Namun mengubah seluruh haluan kepadanya, termasuk lukisanku. Aku melukisnya, kawan.
Kumulai dengan sungging senyumnya yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup. Menghias senyum teduhnya, kulengkapi dengan paras sendunya. Aku tersenyum. Dan satu yang paling aku idamkan dari lukisan itu. Mata sayunya. Ya tatapan sayu itu telah menawan hati. Tetapi lepas delapan jam hanya wajahnya saja yang kulukis. Pun tanpa pewarna yang lengkap. Wajahnya saja tak pernah selesai kugambarkan, selalu ada yang kurang. Apalagi menghiasi keseluruhan menjadi karya yang utuh. Kuserahkan saja lukisan itu ke dewan juri.
Biarlah lukisan itu tak selesai. Kini ada yang nyata di depan mata.
“Ada apa di balik temaram lampu jalan?” malam itu aku pun memberanikan bertukar sapa. Mengulur salam.
“Oh, maaf... lukisanku ya?” Ia kaget.
“Yap... apa ada kenangan dengan yang dahulu?” Oke... langkah pertama.
“Karena kita baru menilai sesuatu ketika adanya mulai terbatas. Termasuk cahaya.” Wajahnya mulai serius.
“Tepat. Seperti seorang berparas sendu di tengah kesangaran para lelaki. Haha”
Pembicaraan kami mulai larut. Apalagi ketika mata saling berpapasan. Tapi sayang, sift jaga menutup pertemuan itu. Aku pulang, tapi ada yang tertinggal.
Dan itulah yang kucari sampai sekarang.
***
Itulah yang kucari sampai hari kelimabelas. Tapi belum juga kutemukan gadis bermata sayu itu. Bahkan namanya pun aku lupa memintanya. Penat. Apa ini hanya pemanis semata? Seperti sedia kala? Yah, lebih baik kuterbangkan angan yang tak sampai itu. Biar saja angin mengemasnya ke dalam sebentuk kenangan. Salah satu angin itu adalah berlibur.
Berlibur bersama kawan sepermainan menjadi rutinitasku. Setidaknya sebulan sekali. Berhubung budget kita tipis, jadilah Alun-alun Batu tujuan refreshing kami kali ini. Walaupun begitu, tempat ini masih memberikan suasana wisata mahal. Cukup keluar uang dua ribu untuk parkir, ditambah dua ribu untuk kopi. Kami bisa menikmati jalanan serta taman yang ramai kerlip lampion. Dan terlebih, ada rasa rumah di sini.
Tentu aku juga membawa buku sketsa, peralatan wajib. Malam di sini menjadi salah satu candu setelah renovasi. Kau bisa melukis banyak emosi dari segala umur di sini. Malam atau siang sama saja. Akan selalu ramai. Aku pamit dari rombongan yang di seberang jalan, mereka paham. Aku memilih duduk di depan air mancur. Ada riang anak-anak yang bermain air di sini, tak lupa muda-mudi saling memadu kasih.
Malam di Batu bisa membuatmu ketagihan untuk selalu datang. Mereka menawarkan eksotisme parade lampu di tengah sejuk hawa pegunungan. Apalagi ketika kau bisa melihat arsitektur alami itu dari ketinggian. Oh ya... di Alun-alun ini kau bisa menyaksikannya juga. Ada bianglala yang menjadi ikon Alun-alun Batu. Karena memancarkan cahaya paling terang. Ketika dari kejauhan, kau lihat kerlip terang memancar. Itulah bianglala ini. Mungkin aku harus mencobanya lagi. Bukankah melihat dataran yang luas bisa membuat hatimu lebih luas?
“Pak, tunggu...!!” Aku berteriak dan sedikit berlari-lari kecil. Bianglala itu sudah mau jalan.
Ah... untung saja aku bisa mengejar dan penjaga itu sabar menunggu. Ada orang lain di dalam.
“Mas, berdua sama yang lain ya? biar imbang.” Ucap penjaga bianglala.
“Iya deh pak...” Sebenarnya aku ingin menikmati ini sendirian. Tapi ya sudahlah, namanya juga wisata umum, murah lagi. “Permisi... eh!!” Gadis itu....

Logo Forum Lingkar Pena | Corel X5 Version

Mohon maaf bagi yang mampir kesini ngira postingan tentang arti logo FLP. :D



Postingan ini hanya bertujuan untuk berbagi file corel logo FLP. Berawal dari keprihatinan atas poster-poster FLP dari berbagai daerah yang (maaf) miskin pengetahuan. Apalagi cuma asal tempel gambar sama teks saja, dan tak jarang resolusinya selalu kecil yang bikin gambar pecah. Maka dari itu saya unggah file ini, semoga sedikit membantu bagi temen-temen yang mau bikin acara. See yaa...

Link download logo FLP

Untuk desain lainnya, silahkan download template poster/flyer/spanduk yang banyak tersebar di internet secara gratis. Salah satu website yang menyediakan adalah Freepik.

Jangan lupa gunakan font yang menarik dan terbaru. Dan lagi-lagi sudah tersebar gratis di dunia maya. Salah satunya di Dafont.

Tinggal edit-edit dikit, voila. Tak perlu ribet belajar desain dan membuat dari nol.

Terbang

   Undangan ada di tangan, pink beramu biru muda. Pertama pandang, sungguh megah adanya. Tapi, pandangan pertama memang sering menipu, wajah sering beda sekali dengan hati. Wajah lipatan itu memang cantik, aku terpesona. Tapi, isinya malah membuatku terpaku. Apa benar yang kulihat, Dib? Yang tertera itu? Namamu.... Aku mungkin seperti memegang bara api, membakar tanganku, mengacak otak, dan yang paling parah, panas itu menembus ulu hati. Hancur.... Kau tak sedang jahil padaku kan, Dib? 
   Aku lelah. Akankah seperti ini akhirnya? Kuletakkan surat itu di atas tumpukan buku yang mulai menggunung. Aku tersenyum sinis. Sejak kapan aku suka baca buku? Tapi, lihatlah Dib! Jika kau ingin ke perpustakaan, kau cukup ke rumahku. Berjejer rapi novel, buku psikologi, motivasi, sampai buku agama. Belum semua kubaca. Yang sudah kubaca pun itu kupaksa. Agar aku tak terlalu banyak berkata “oh...” di depanmu. Lebih cair.
   Apa ini salahmu...? Ini salahku yang terlalu dalam mencintai.
   ***
   Pernah kau berlibur ke Lombok. Lalu dengan nada mengejek, kau pamerkan kemolekan pantai sana, bersih, sepi, luas, bagai surga tersembunyi, tak lupa kau singgung Rinjani. Mana ada yang tak iri? Apalagi itu dari mulutmu. Sejak kata ejekan pertamamu saja, aku sudah membayangkan berada di sana bersamamu. Tapi kau tak peka. Aku sebal. Terlebih ketika kau kata sedang menikmati plecing kangkung tepat di bibir pantai. Kalau ada kata di atas sebal, pasti sudah aku pakai. Tapi aku senang bisa berbincang denganmu, meski dalam bahasa ejekan.
   Keesokannya aku menelepon Faris, sahabat kita, yang kini jadi chef di hotel besar. Aku ingin membalas ejekanmu. Kalau ternyata aku juga bisa merasakan plecing kangkung di sini, lebih enak bahkan. Dan impianku bersambut gayung dengan senyum optimis Faris, Dia paham masakan itu.
   Lusa, datanglah Faris lengkap dengan bahannya. Mendikte apa saja yang harus aku lakukan. Memotong sayur, mencampur bumbu, menumbuknya, Faris selalu mengawasiku. Tapi, diriku malah seperti anak kecil yang sedang membantu mamanya memasak, merusak segalanya.
   “Hah! Ribet sekali sih, Ris? Tak ada bumbu instannya apa?” Ngambek. Kulempar badan ke sofa. Putus asa.
   Faris tertawa renyah. Membuatku makin sebal. Tapi dia melanjutkan hasil masakanku yang kacau balau. Mungkin dia memulai dari awal, karena memang hancur sekali buatanku. Kutengok dari balik sofa, serius sekali wajahnya. Coba kau bisa bercanda sedikit, Ris, pasti banyak yang tergila-gila padamu.
   ***
   Kusapa gunung seberang yang tampak samar, sebatas siluet hitam berselimut kabut. Kusisir puncaknya melewati rimbun yang terlihat hijau samar. Setelah ini mungkin aku akan membenci pagi. Sungguh jahatnya dia pagi ini, membawa aroma kelam nan dingin menembus hati. Tak hanya kulitku yang ditusuk-tusuk dingin. Hatiku sudah babak belur. Aku termangu setengah jam tanpa tanda hidup, mematung. Ah, mataku sembab.
   Aku masih terduduk lesu di depan teras. Membiarkan matahari perlahan menyapa mata, badan yang semakil kecil, menuju kaki. Ada telepon dari Faris. Dia mencariku yang tak muncul juga. Aku lupa. Bergegas kusiapkan semua, lalu berangkat. Di depan cermin, kupatut-patutkan diri, terutama wajah ini. Wajah bahagia wajib kupakai hari ini, hari spesial sahabatku.
   ***
   Faris melambai-lambai, tersenyum lebar memanggilku. Walau di tengah kerumunan, siapa tak akan cepat mengenali orang dengan kepala plontos mengkilap? Segera berjalan ke arahku, lengkap dengan mulutnya yang tak berhenti mengunyah.
   Aku takjub dengan konsep acara ini. Taman, barbeque, iringan akustik. Tak ada lagi rutinitas kaku di sini. Terbebas sudah dari gaun Jawa, jejeran tenda, maupun menu yang selalu seragam di semua tempat. Tapi, tetap saja hawa di sini membuat iri. Melihat orang bersalaman, mengikrarkan janji. Lalu, di sisi lain ada sahabatku menunggu. Tegang. Hingga kata itu akhirnya di ucap bersama-sama. Bahagia? Lega? Kata-kata itu masih jauh sebagai penjelasan dibanding melihat wajah mereka secara langsung.
   “Kau, bagaimana, Nad?” Dari samping Faris tiba-tiba bertanya.
   Aku menoleh dengan wajah merah. Sebal. Jangan bilang dia ingin mengeluarkan pertanyaan rutin tiap hajatan ini. Sampai dia bilang. Aku akan langsung pergi, ke belakang mungkin pilihan yang bagus. Capek menanggapi pertanyaan yang tak perlu jawaban seperti itu.
   “Setelah ini kau mau ke mana, Nad?”
   Gelagapan. Salah tingkah. Berarti tadi dia tak bermaksud tanya kapan giliranku menikah? Ah, Tuhan..., cepat emosi sekali aku sekarang ini. “Eh, kalau kau?”
   Toronto bukan tempat yang dekat, dan Faris pernah bicara kalau dia ingin meneruskan belajarnya. Menyebut, bahwa di sana ada orang yang ingin sekali ditemuinya untuk berguru. Tahun ini kesempatan itu datang.
   “Menurutmu bagaimana, Nad?”
   “Maksudmu apa, Ris? Kenapa harus tanya aku? Bukankah itu cita-citamu sejak lama? Kalau tak kau kejar sekarang, bisa jadi kau tak akan pernah bisa mengejarnya. Matahari hanya akan muncul waktu pagi.”
   Dia hanya tersenyum. “Terima kasih, ya, Nad.”
   “Mungkin aku juga harus mengikutimu, Ris. Berkutat di kota ini begitu lamanya, membuatku semakin sesak. Sudah saatnya aku mengepakkan sayap lagi.”

Kucing Hitam


Oleh : Muchtar Prawira Sholikhin*

Seekor kucing hitam berekor pendek. Menyelinap ke dalam kantin. Yang isinya tak penuh juga tak sepi pelanggan, sekedarnya saja. Dua tiga langkah. Ia diam. Duduk termenung memandang sendok dan garpu yang saling bertabrakan dengan piring, menimbulkan bunyi yang semakin melaparkan perut. Dengan sesekali menggaruk leher yang selalu gatal, diamatinya jajaran pelanggan di depannya, disapunya dari kanan ke kiri. Ada empat orang duduk berjajar, mungkin mereka satu geng. Lahap dengan nasi masing-masing, ditemani gemeritik piring dan sendok. Orang paling kanan melempar sisa ke tanah. Itu kepala ikan. Secepat kilat ia terobos angin menjemput pengganjal lapar. Melewati satu dua kursi yang kosong, berlompat-lompat menghindari pancang-pancangnya. Tiba ia di depan orang paling kiri. Tanpa berhenti ia lanjutkan larinya. Belum selesai satu kaki melanjutkan langkah, satu kaki orang paling kiri itu melayang, gagah dengan pantofelnya. Menyambar tepat perut yang masih keroncongan. Menghempaskannya sampai ke tembok.
Ancaman. Lari secepat mungkin adalah solusi. Masa bodoh kepala ikan yang sudah di depan mata. Masa bodoh pula dengan perut yang semakin perih. Sekejap kilat sampailah di luar kantin, depan pintu. Menengok ke dalam sekali, memastikan kembali apa yang dihadapinya tadi adalah wajah penguasa. Wajah ketamakan.
Cukup sudah deritanya lalu. Tak terpikirkan lagi. Jalanan sekarang jadi rumahnya, dunia yang lebih luas, pun juga lebih keras. Berjalan seiring mata memandang sekarang yang ia lakukan. Menanti barangkali bertemu Tuhan di penghujung jalan. Barangkali bertemu pengganjal perut di kiri atau kanan jalan. Sambil terus berjalan berarah tempat Tuhan berada, ia edarkan pandangan ke segala arah, tak ingin Tuhan terlewat. Tempat sampah. Ya, bertemulah ia dengan tumpukan penuh sampah. Dengan perut yang semakin terlihat tulangnya tak perlu lagi ia menghitung seberapa busuk sampah itu. Yang sekarang ada di pikirannya adalah perutnya penuh, hidupnya bergairah, maka jalan pun terang di hadapannya. Ia buka selembar demi selembar kertas, plastik, kaleng, serta barang lain sampai menemukan yang ia cari. Sayang, tempat itu bukan daerah pemukiman. Yang ia temukan hanyalah onggokan kertas dan plastik, ditambah beberapa batang kayu dan daun yang mungkin ada orang menyingkirkannya dari jalan.
Lewatlah pengharapan itu, namun masih ada pengharapan yang lain. Terlupalah satu tempat sampah kosong ke tempat sampah lain. Bumi masih terbentang luas, jalan juga masih terhampar di depan. Tentu masih ada harapan yang juga terbentang. Dan tak berlangsung lama kembali ia temui tempat sampah. Diobrak-abrik isinya, namun sama lah nasibnya kali ini. Tak menemukan jua sang harapan. Begitu selanjutnya kisahnya. Mengais satu demi satu tempat sampah, dan kembali menemui kehampaan.
Ia lanjutkan perjalanan. Berharap pada tempat sampah berikutnya akan ditemuinya jua. Terlewat banyak blok di depan, banyak pula kekecewaan ia rasakan. Mulai putus asa lah ia, namun Tuhan berkata lain. Ketika keputusasaan hampir merenggut seluruh keyakinannya, keberuntungan naik ke permukaan. Tercium bau tongkol goreng, lengkap dengan aroma saus manisnya, tercium sampai jauh. Mengoyak gelisah perut yang semakin menjadi-jadi. Didatangi lah tempat itu. Diamati kiri kanan, berharap tak ada makhluk lain selainnya. Tak mau lagi terulang pengalaman di kantin, ia mengendap-endap penuh perhitungan. Keberuntungan kedua, pintu rumah terbuka, cukup sebadannya menyelinap. Perlahan-lahan matanya selalu mengintai. Yakin tak ada masalah. Bergegaslah ia berlari, lompat ke kursi, lompat lagi ke meja, menggigit sebuah tongkol, lalu bergegas melompatlah dari meja ke tanah, cukup tinggi. Namun bahagia mulai timbul di pikirannya, juga di perutnya. Aku bisa bertahan hidup. Tapi secepat kucing itu pula pemilik rumah beranjak, entah dari mana, mungkin juga sedang mengawasi sedari tadi. Dihantamnya kepala kucing itu, menggoyahkan lakunya. Dengan sedikit sempoyongan, semakin dikencangkan lari si kucing hitam. Selamatlah ia masih bisa kabur dari rumah. Tapi tongkol yang sudah di ujung mulut tadi ikut terlempar ketika kepalanya dihantam. Hilanglah sedikit kebahagiaan yang sempat muncul. Tapi untung ia sempat merasai sedikit saus di mulutnya. Sedikit memberikan rasa pada mulut dan tenggorokan, walaupun tak sampai perut.
Banyak manusia yang selalu bilang, “kucing saja ada yang beri makan,” ketika manusia itu belum berpenghasilan. Tapi di zaman sekarang apakah kalimat itu masih relevan? Bukankah sudah sepatutnya diganti, “kucing seharusnya ada yang beri makan.” Ya, tepat seperti itu. Mana bisa sekarang semua didapat tanpa adanya uang? Tanpa adanya pengorbanan? Tapi apakah pengorbananku masih belum cukup untuk mendapat sebuah saja tongkol.
Kini ia hanya berjalan mengikuti ke mana langkah mengarah. Mungkin kembali mengais di jalan menjadi satu-satunya jalan. Tanpa adanya pukulan yang membabi-buta dan amarah, dia bisa bebas menikmati usaha, walau hasilnya tak selalu senikmat usahanya. Dan berjalanlah ia ke mana pun jalan terhampar. Mengikuti jalan selepas mata memandang. Dan sekali lagi, ia bergantung pada takdir. Semoga perutnya kini bisa bertambah berat, bertambah lega. Kembalilah seperti rutinitas sebelumnya. Berjalan ke mana arah, lalu mengais di mana tempat sampah menggunung.
Masih di sekitaran pemukiman warga, di ujung tepatnya, di tepi jalan raya, ia temui tempat sampah yang cukup harum baginya. Penuh dengan yang ia tahu, ikan, tulang-belulang dengan sedikit daging, tahu tempe, serta sisa makan lain yang sungguh menggugah selera. Segeralah ia mengaisnya, ditemui sebuah bungkusan yang cukup berat, dikeluarkannya dari tempat sampah, dikoyak pembungkus hitam itu. Dan berhasillah ia mendapatkan surga dunia, berhasil menemui di mana Tuhan berada. Namun tak berlangsung lama ada kucing lain mendekat. Berlari bahkan. Lalu menubruknya. Membuatnya terlempar dari posisinya yang siap melahap hasil mengaisnya. Beradulah cakar dua kucing ini. Kucing hitam melempar cakarnya, dibalaslah dengan cakar di muka oleh kucing satunya. Masing-masing saling meraung, menyuruh yang lain agar pergi. Tak ada yang pergi. Mereka berdua saling bersiap siaga, tanda akan menyerang. Dan tak perlu hitungan waktu yang lama bergulatlah kedua kucing jalanan ini. Berguling-guling hingga ke jalan. Tak disangka ada mobil lewat. Tak kencang memang, tapi kecepatannya tak bisa dikalahkan kedua kucing ini. Terlindaslah mereka. Satu terkena ekornya yang kini bengkok. Satunya, yakni kucing hitam beruntung memiliki ekor pendek, sehingga tak terlindas ekornya. Tapi naas, kaki kiri belakangnya yang terkena.
Sontak, mereka lari kencang, sekencang yang masing-masing bisa. Kabur dari raksasa itu, yang bisa jadi akan terus mengejar mereka. Si kucing hitam lari sebagaimana kaburnya dari kantin dahulu. Namun kini dengan kaki yang pincang. Ia tak bisa lari jauh. Ditambah perutnya yang semakin keroncongan membuatnya hilang tujuan. Kemana lagi harus dilangkahkan kaki?
Sudah lemas ia berusaha. Badan lebur dikandungnya, hati capai ia rasai. Kini ia sudah lelah pada hidup. Mencuri. Biarlah sekali lagi dicobanya. Kini ia hanya pasrah. Entah nanti mati atau hidup bukan lagi pikirnya, toh tanpa makan mati juga. Ia hanya ingin secuil atau barangkali dua sampai tiga cuil daging demi perutnya.
Dimulailah usaha terakhir. Kembali ke kantin yang memiliki lebih banyak dari rumah yang ia sambangi tadi. Tanpa rencana, mulai mengendap-endap. Menahan sakit pada kaki pincangnya ia telusuri kantin dari pinggir. Bersembunyi di bawah gelap kursi-kursi. Merunduk-runduk mirip binatang melata –sebagaimana instingnya- ia maju perlahan-lahan. Hari sudah gelap, kantin ini pun sudah sepi. Tak ada yang melihatnya, tapi ia tak mau dihantam lagi. Setelah melewati kursi-kursi yang kini kosong, tiba lah di tempat jajaran makanan dihidangkan. Namun kosong. Dilihatnya ada pintu belakang. Dengan masih sembunyi-sembunyi, perlahan ia masuki pintu. Di sana ada kompor yang sudah dingin, dan wajan di atasnya yang juga dingin. Ada piring-piring yang sudah bersih ditata rapi. Tapi matanya terbelalak ketika melihat ada piring yang diletakkan di bawah, lengkap dengan ikan tongkol harapannya. Bisa jadi ini adalah jebakan sebagaimana ketika ia sambangi perumahan tadi pikirnya. Takut-takut dengan perlahan ia semakin mendekat. Tak ada ancaman. Perlahan dilahapnya sedikit demi sedikit. Dikunyahnya tongkol harapan itu. Setiap kecapan dinikmatinya, dirasakannya badan yang sudah lebur kini mendapati hasil. Kini perutnya sudah berkembang, pun hatinya sudah lega. Dan malam ini ia pun tidur di tempat ini.


 

Copyright © Mahya. All rights reserved. Template by CB Blogger & Templateism.com